oleh : Muhammad Ya'kub Harahap
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Terjaga dari melakukan dosa atau kesalahan meruakan sifat yang melekat
pada para Nabi Allah. Sehingga, para Nabi Allah dalam kehidupannya tidak pernah
melakukan perbuatan dosa dan salah kepada-Nya, bahkan apabila salah sekalipun,
kesalahanya memiliki hikmah dan menjadai rahmat bagi umatnya. Sedangkan manusia
sebagai umat para Nabi ini tidak lepas dari perbuatan dosa atau kesalahan dalam
menjalani kehidupanya. Sebab, manusia sebagai umat para Nabi merupakan
tempatnya dosa dan salah.
Dalam islam seorang muslim dikenakan hukum taklif apabila ia
telah mencapai usia baligh. Baligh pada laki-laki ditandai dengan
keluarnya air mani dari alat kelaminnya, baik lewat mimpi basah ataupun lainya,
atau mencapai usia baligh umumnya. Sedangkan baligh pada
perempuan ditandai dengan keluarnya darah haid dari alat kelaminnya pada umur
sembilan tahun atau apabila tidak keluar darah haid maka baligh nya
sesuai usia baligh pada umumnya.
Manusia laki-laki dan perempuan telah mencapai usia baligh dan
terkena hukum taklif tidak diimbangi pula dengan memiliki kematangan
pikiran, sikap, dan kontrol terhadap hawa nafsunya. Akibatnya,
perbuatan-perbuatan dosa ataupun salah yang dilarang oleh agama islam sering
diabaikan dan malah dilakukannya. Seorang manusia yang telah melakukan
perbuatan dosa atau kesalahan, baik dosa kecil, dosa besar, bahkan murtad
sekalipun dalam ajaran islam diperintahkan agar bertaubat dari perbuatan dosa
itu dengan taubat nasuha.
Dalam makalah ini, penulis akan menerangkan tentan taubat nasuha,
mulai dari pengertiannya secara bahasa dan istilah, dasar hukumnya dari
al-Qur’an dan Hadis serta pendapat Ulama, perbutan-perbuatan dosa, tata cara
dalam pelaksanaan taubat nasuha, dan taubat nasuha dalam tasawuf.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
penjelasan dari pengertian taubat nasuha?
2.
Jelaskan
sumber/dasar hukum taubat nasuha?
3.
Jelaskan
tentang dosa atau kesalahan?
4.
Bagaima
tata cara pelaksanaan taubat?
5.
Jelaskan
hubungan taubat nasuha dalam tasawuf?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Memahami
pengertian taubat nasuha
2.
Memahami
sumber/dasar hukum taubat nasuha
3.
Menjelaskan
dosa atau kesalahan
4.
Menjelaskan
tata cara pelaksanaan taubat nasuha
5.
Menjelaskan
hubungan taubat nasuha dalam tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Taubat Nasuha
Kata taubat (توبة) merupakan bentuk masdar
dari fi’il madhi taba (تاب). Selain kata taubat, fi’il
madhi taba masih mempunyai bentuk mashdar yang lain, yaitu tauban (توبا) mataban (متابا) tabatan (تابة), dan tatwibatan (تتوبة) yang berarti kembali (الرجوع) atau menyesal (الندم). Sedagkan kata nasuha (نصوحا)
merupakan bentuk masdar dari (نصح) yang berarti (خالص) murni atau sebetulnya, dan kedudukannya
sebagai na’at pada kata taubat[1].
Dari sini dipahami bahwa taubat nasuha ialah
menyesal dan kembali dengan semurni-murni atau sebetul-betulnya.
Sedangkan secara terminologis, taubat berarti kembali dari
perbuatan maksiat atau dosa menuju taat kepada Allah, dan menyesali semua
perbuatan dosa yang dilakukannya[2].
Dari pengertian ini dipahami bahwa seseorang yang bertaubat adalah orang yang
kembali dari sesuatu yang dilarang Allah menuju apa yang diperintahkan, orang yang
kembali dari sesuatu yang dibenci Allah menuju sesuatu yang dicintai, atau
orang yang kembali kepada Allah setelah berpisah, menuju taat kepada-Nya,
setelah melakukan pelanggaran atau kedurhakaan.
Menurut Zain bin Ibrahim taubat ialah kembali kepada Allah dari
jalan yang telah jauh menuju jalan mendekat[3].
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa perbuatan-perbuatan maksiat merupakan
jalan yang menjauhkan diri seseorang dari Allah dan mengakibatkan dia jatuh
pada murka dan siksaanya. Sedangkan jalan mendekatkan diri kepada Allah yaitu
dengan segera menyesali perbuatan-perbuatan maksiatnya dan tidak melakukanya
lagi.
Menurut imam al Ghazali taubat itu ialah pengetahuan akan bahaya
besar dosa dan dosa dapat menghalangi kecintaan kepada Allah, timbulnya dalam
hati penyesalan terhadap dosa dan tekad kuat untuk meninggalkannya pada waktu
itu juga hingga waktu-waktu berikutnya, dan dibuktikan dengan perubahan
perbuatanya pada yang baik[4]. Dari
pengertian ini dipahami bahwa taubat ialah mengetahuinya seseorang akan
perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu merupakan perbuatan dosa yang memberikan
dampak bahaya besar baginya baik di dunia maupun di akhirat, sehingga
menimbulkan perasaan bersalah dan penyesalan dalam hatinya serta bertekad untuk
menjauhi dan meninggalkannya, dan melakukan amal-amal kebajikan.
Menurut Muhammad Syakir taubat ialah seseorang mengakui kepada
tuhan atas kesalahan ataupun dosa yang telah terjadi pada dirinya, mengakui
dirinya sebagai hamba pendosa yang akan disiksa Allah atas dosa yang telah diperbuat,
merasa sedih dan menyesal atas perbuatan dosanya, berjanji kepada Allah akan
tidak mengulangi perbuatan dosanya sampai akhir hidupnya, dan meminta ampunan
dari Allah atasa dosa-dosanya yang telah terjadi[5].
Dari pengertian taubat di atas, dapat dipahami bahwa taubat itu
sejatinya ialah tidak hanya mengucapkan dengan mulutnya “aku bertaubat” ataupun
“aku bertaubat kepada Allah”, namun dia mengetahui bahaya besar atas
kemaksiatan yang dilakukan, merasa sedih dan menyesal atas kemaksiatanya itu,
bertekad dalam hati untuk meninggalkan dan tidak mengulanginya lagi
selama-lamanya, mengganti atau menambeli setiap dosa yang berkaitan
dengan hak-hak anak adam, memintakan ampunan kepada Allah atas kemaksiatanya
dan melakukan amal-amal kebajikan hingga akhir hidupnya.
B.
Sumber/Dasar Hukum Taubat Nasuha
1.
Al-Qur’an
وَتُوبُوا اِلَي اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَ المُؤمِنُونَ لَعَلَّكُم
تُفلِحُونَ
Artinya
: “dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang
beriman, mudah-mudahan kalian beruntung[6]”.
(Q.S. An Nur. 31)
ياأيها الذين أمنوا توبوا الي الله توبة نصوحا
Artinya
; ‘ wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah, dengan
taubat nasuha (sebenar-benarnya)[7].
(Q.S. at Tahrim. 8)
Dari
dua ayat al Qur’an di atas, kalimat yang digunakan keduanya dalam menunujukan
taubat ialah bentuk kalimat fi’il ‘amr, yang bermakna (طلب الأمر) tuntutan atau perintah, orang yang
diperintahkan bertaubat di kedua ayat di atas itu ialah orang-orang yang
beriman (mempercayai-pen) kepada Allah,bertaubat itu hanya kepada Allah semata
bukan pada selainya, dan dengan taubat yang sebetul-betulnya.
Dalam
ayat lain Allah juga berfirman tentang taubat, yaitu pada surah al Baqarah ayat
222 dan surah an Nisaa’ ayat 17 dan 18, yang berbunyi sebagaimana berikut :
ان الله يحب التوابين ويحب المتطهرين
Artinya
: “sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai
orang-orang yang bersuci[8]”.
(Q.S. al Baqarah. 222).
انما التوبة علي الله للذين يعملون السوء بجهالة ثم يتوبون من قريب
فأولئك يتوب الله عليهم, وكان الله عليما حكيما. وليست التوبة للذين يعملون
السيئات حتي اذا حضر أحدهم الموت قال اني تبت الأن ولا الذين يموتون وهم
كفار,أولئك أعتدنا لهم عذابا اليما.
Artinya
: “sesungguhnya taubat atas Allah ialah bagi orang-orang yang mengerjakan
kejahatan sebab kebodohan, kemudian ia segera bertaubat, mereka itulah
orang-orang yang diterima Allah taubatnya, dan adalah Allah maha mengetahui dan
maha bijaksana. Dan bukanlah bertaubat untuk orang-orang yang mengerjakan
kejelekan-kejelekan dan ketika kematian menghampiri salah satu mereka, ia
berkata sesungguhnya sekarang saya bertaubat, dan tidaklah mereka mati seraya
dalam keadaan kufur, mereka itulah orang-orang yang kami janjikan bagi mereka
siksaan yang pedih[9]”.
(Q.S. an Nisaa’. 17-18)
Dari
ketiga ayat al Qur’an ini dipahami, pertama, bahwa orang-orang mu’min
yang benar-benar bertaubat kepadanya akan ditempatkan pada tingkatan
orang-orang yang dicintainya. Kedua, taubat seseorang itu pasti diterima
Allah taubatnya, apabila dia bertaubat dengan segera tanpa menunda-nundanya
setelah dia melakukan perbuatan jelek. Ketiga, taubat seseorang tidak
diterima Allah apabila taubatnya dilakukan diwaktu kematiannya sudah dipastikan
dalam waktu hitungan menit atau kurang lebih.
2.
Hadis
حدثني سويد ابن سعيد, حدثنا حفص ابن ميسرة, حدثني زيد ابن أسلم عن أبي
صالح, عن أبي هريرة, عن رسول الله صلي الله عليه وسلم,أنه قال : قال الله عز وجل,
أنا عند ظن عبدي بي, وأنا معه حيث يذكرني, والله! لله أفرح بتوبة عبده من أحدكم
يجد ضالته بالفلاة, ومن تقرب الي شبرا, تقربت اليه ذراعا, ومن تقرب الي ذراعاو
تقربت اليه باعا, واذا أقبل الي يمشي, أقبلت اليه أهرول.[10]
Artinya
: Syuwaid bin Syaid bercerita padaku, Hafas bin Maisarah bercerita pada
kami, Zaid ibn Aslam bercerita padaku dari Abi Shaleh, dari Abi Hurairah, dari
Rasulullah SAW. Bahwasanya beliau bersabda, Allah yang maha agung dan maha
luhur berfirman, saya disisi prasangka seorang hamba padaku, dan saya
bersamanya selama hamba mengingatku, demi Allaah, pasti Allah sangat senang
dengan taubat hambanya yang dari salah satu kalian yang telah tersesat
(memiliki dosa) sebanyak padang pasir, barang siapa mendekatiku satu jengkal
maka aku mendekatinya satu lengan,barang siapa yang mendekatiku satu lengan maka
aku mendekatinya satu depa, ketika hamba menghampiriku dengan berlari pelan
maka aku menghampirinya dengan berlari kencang. (H.R. Abu Hurairah)
قال عليه الصلاة والسلام : التائب حبيب الله والتائب من الذنب كمن لا
ذنب له, أخرجه ابن ماجه من حديث ابن مسعود[11].
Artinya
: Rasulullah SAW. Bersabda, orang yang bertaubat adalah kekasih Allah, dan
orang yang taubat dari dosanya seperti orang yang tidak ada dosa baginnya. (H.R.
Ibn Majah).
Dari
kedua hadis di atas, dapat dipahami bahwa Allah begitu senang dan memberikan
balasan yang begitu agung kepada hambanya yang mau bertaubat kepadanya,
walaupun dosanya sebanyak pasir di gurun pasir, Allah tetap mengampuninya.
3.
Pendapat
Ulama
Luqman Hakim dalam kitab Syarah Hadis Jibril Hidayatu at
Thalibiina fi Muhimmat ad Din berkata يا بني, لا
تؤخر التوبة, فان الموت يأتي بغتة , wahai anakku, janganlah engkau
mengakhirkan atau berlama-lama dalam bertaubat, karena kematian itu datang
dengan tiba-tiba[12].
Muhammad Syakir berkata dalam kitab Washaya al ‘abaa’i li al
abnaa’i يا بني, انظر الي نفسك مع ابيك واستاذك, اذا
أمراك بالمواظبة علي الدرس فاهملت وأرادا عقوبتك, فقلت اني تائب, هل تصح توبتك
وأنت لاه عن دروسك؟ أليست هذه التوبة من الأكاذيب التي تستحق عليها عقوبة أخري ,
wahai anakkku, lihatlah dirimu bersama ayah dan gurumu, apabila keduanya
memerintahkanmu agar tekun dalam belajar, kemudian kamu meninggalkanya, dan
keduanya ingin menghukummu, kemudian kamu berkata, saya akan bertaubat. Apakah
sah taubatmu, sedangkan kamu meninggalkan pelajaranmu?. Bukankah taubat dengan
perkataan ini merupakan kebohongan yang menetapkan hukuman lain baginya[13].
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali berkata dalam kitab ‘Ihya
‘Uluum ad Din أن وجوب التوبة ظاهر بالأخبار
والأيات, وهو واضح بنور البصيرة عند من انفتحت بصيرته وشرح الله بنور الايمان صدره حتي اقتدر علي أن
يسعي بنوره الذي بين يديه في ظلمات انجه, مستغنيا عن قائد يقوده في كل خطوة,
bahwa kewajiban bertaubat itu tampak jelas dengan dalil Hadis dan ayat-ayat
al-Qur’an, dan kewajiban taubat itu jelas pada cahaya penglihatan orang yang
telah terbuka penglihatanya, dan Allah terangkan cahaya keimanan pada dadanya,
sampai ia mampu berlari dengan cahaya yang berada padanya tersebut dalam
kegelapan yang penuh kebodohan, dan terbebas dari pemimpin yang memimpinnya
pada setiap kesalahan[14].
Dari pendapat ulama di atas, dapat dipahami bahwa bertaubat itu
hukumnya wajib segera dilakukan dan tidak menunda-nundanya, sesuai dari
penjelasan dalil-dalil al Qur’an dan hadis Nabi. Digambarkan pula dalam
pendapat di atas, bahwa taubat tidak mengucapkannya dengan mulut saja, bahkan
ucapan itu malah menjadikan dan menambahkan sebuah kesalahan atau dosa lainya.
C.
Tata Cara Pelaksanaan Taubat Nasuha
Dosa ataupun kesalahan yang dilakukan oleh seseorang itu dibagi
menjadi dua macam, yaitu dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil, seperti
meninggalkan shalat, puasa, berzina, minum khamar, ghosob sandal dan masih
banyak lagi. Kemudian, dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil ini dibagi pula pada
hal-hal yang berkaitan atas hak hamda dengan Allah dan hak hamba dengan hamba
lain.
Dalam melaksanakan taubat perlu memahami dosa atau kesalahan yang
kita perbuat itu apakah berhubungan dengan hak hamba dengan Allah, hak manusia
dengan manusia atau Murtad. Taubat dari dosa atau kesalahan yang berhubungan
denga haknya Allah itu harus melakukan empat perkara, yaitu :
1.
Meninggalkan
kemaksiatan pada waktu atau hari itu juga.
2.
Menyesali
perbuatan dosa-dosanya di hari-hari yang telah lewat.
3.
Bertekad
untuk tidak akan mengulanginya lagi di kemudian hari.
4.
membayarkan
kifarat atau melakukan Qadha’ pada dosa-dosa yang wajib membayarkan
kifarat atau melakukan Qadha’[15].
Seperti seseorang yang meninggalkan puasa ramadhan dan tidak menggantinya
setelah tiba bulan puasa kembali dan dosa meninggalkan kewajiban shalat lima
waktu dan masih banyak lagi lainya.
Sedangkan taubat dari dosa ataupun kesalahan yang berkaitan dengan
hak manusia, maka harus melakukan empat perkara juga, yaitu :
1.
Mengetahui
dan menyadari bahaya besar dan macam-macam dosa atau kesalahan yang dilakukan
dan kewajiban untuk segera melakukan taubat.
2.
Menyesali
dengan sangat setiap dosa ataupun keselahan yang telah dilakukannya.
3.
Meninggalkan
perbuatan-perbuatan dosa atau kesalahanya dan bertekad untuk tidak melakukanya
kembali sampai akhir hidupnya di dunia.
4.
Mengganti
atupun mengembalikan setiap dosa atau kesalahan yang berhubungan dengan harta
maupun benda orang lain yang diambil, meminta keridhaan pemiliknya, dan
memintakan kehalalanya[16].
Seperti seseorang yang mencuri harta atau barang milik orang lain, maka wajib
baginya untuk mengembalikan ataupun memberikan ganti sesuai dengan nilai barang
yang diambilnya itu, meminta keridhaan pemiliknya atas penggunakan barang itu,
dan meminta kehalalan dari pemilik dalam pemanfaatan barang tersebut.
Adapun taubat dari kemurtadan, maka seseorang tersebut harus
membersihkan dan membenarkan kepercayaannya kepada Allah. Seseorang itu harus
mengingkari tuhan yang lain selain Allah di dalam hatinya dan mengimani dengan
bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan nabi
Muhammad SAW. merupakan seorang Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah dalam
hatinya serta mengucapkannya[17].
Kemudian setelahnya, seseorang itu melaksanakan setiap yang diperintahkan dan
menjauhi setiap yang dilarang oleh agama.
D.
Taubat Nasuha dalam Tasawuf
Tasawauf dalam gambaran
umunya ialah keluar dari setiap perbuatan-perbuatan yang hina dan tercela baik
didalam bersikap, berfikir, dan berhati, dan menghiasi diri dengan sikap,
pikiran, dan hati yang baik[18].
Kemudian pada akhirnya tasawuf merupakan setiap langkah-langkah yang ditempuh
seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Allah dengan mata hati dan bersatu
dengan Allah dalam setiap perbuatanya.
Dalam mencapai tujuan tasaawuf diatas, maka seorang hamba melewati
berbagai jalan yang ditetapkan dalam tasawuf, yaitu taubat, zuhud, wara’,
tawakkal, dan ridha’, atau mahabbat an nafsi, penyucian jiwa, taubat nasuha,,
takholli, tahalli, tajalli, dan mahabbah[19].
Dari
pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa taubat nasuha merupakan salah satu
jalan yang wajib ditempuh dan dijalani seseorang untuk mencapai tingkatan
tertinggi dalam tasawuf. Seseorang yang bertasawud harus bertaubat dengan
menyesali dan meninggalkan setiap dosa atau kesalahan dari perbuatan atau
sikapnya, pikiran atau akalnya, dan keburukan atau kejelakan hatinya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan makalah ini, dapat diambil kesimpulan sebagaimana
berikut :
1.
Taubat
itu sejatinya ialah tidak hanya mengucapkan dengan mulutnya “aku bertaubat”
ataupun “aku bertaubat kepada Allah”, namun dia mengetahui bahaya besar atas
kemaksiatan yang dilakukan, merasa sedih dan menyesal atas kemaksiatanya itu,
bertekad dalam hati untuk meninggalkan dan tidak mengulanginya lagi
selama-lamanya, mengganti atau menambeli setiap dosa yang berkaitan
dengan hak-hak anak adam, memintakan ampunan kepada Allah atas kemaksiatanya
dan melakukan amal-amal kebajikan hingga akhir hidupnya.
2.
Perintah
untuk melakukan taubat itu memiliki dasar atau sumber hukum dari dalil-dalil al
Qur’an, Hadis nabi Muhammad, maupun perkataan Ulama.
3.
Dalam
melaksanakan taubat perlu memahami dosa atau kesalahan yang kita perbuat,
meninggalkan kemaksiatan, menyesali perbuatan dosa-dosanya, bertekad untuk
tidak akan mengulanginya, membayarkan kifarat atau melakukan qadha’, atau
mengganti atupun mengembalikan setiap dosa atau kesalahan yang berhubungan
dengan harta maupun benda orang lain yang diambil, atau juga harus mengingkari
tuhan yang lain selain Allah di dalam hatinya dan mengimani dengan bersaksi
bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan nabi Muhammad SAW. merupakan
seorang Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah dalam hatinya serta mengucapkannya.
4.
Taubat
merupakan salah satu jalan yang wajib ditempuh dan dijalani seseorang untuk
mencapai tingkatan tertinggi dalam tasawuf. Seseorang yang bertasawud harus
bertaubat dengan menyesali dan meninggalkan setiap dosa atau kesalahan dari
perbuatan atau sikapnya, pikiran atau akalnya, dan keburukan atau kejelakan
hatinya.
B.
Saran
Demikian
makalah ini ditulis, apabila ada kesalahan yang terdapat dalam makalah ini,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Yunus Mahmud.
2010. Kamus Arab Indonesia. Ciputat: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyyah.
Muhammad Al
Ghazali, Abu Hamid. 2005. Ihya’ Ulum ad Din. Beirut: Dar Ibn Hazm.
Ridho, Ali.
2019. Konsep Taubat Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Minhajul ‘Abidin, Jurnal
Aqidah-Ta Vol. V No. 1.
Ibrahim, bin,
Zain. 2006. Syarhu Hadis Jibril, Hidayah at Thalibina fi Muhimmati ad Din. Surabaya:
Dar al Ulum al Islamiyyah.
Muslim, Hasan, Abu. 2015. Sahih
Muslim. Riyad: Dar al Hadarah. Cet.II.
Syamil Quran. 2013. Terjemahan Kementerian Agama Republik
Indonesia. Surabaya: Halim.
Syakir, Muhammad.
2013. Washaya al ‘Aba’i li al Abna’i. Surabaya: al Miftah.
[1] Abu
Hamid Muhammad Al Ghazali, Ihya’ Ulum ad Din, (Beirut: Dar Ibn Hazm,
2005), hal. 1336-1338.
[2]
Ali
Ridho, “Konsep Taubat Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Minhajul ‘Abidin”,
Jurnal Aqidah-Ta Vol. V No. 1. 2019. Hal. 35.
[3] Zain
bin Ibrahim, Syarhu Hadis Jibril, Hidayah at Thalibina fi Muhimmati
ad Din, (Surabaya: Dar al Ulum al Islamiyyah, 2006), hal. 143.
[4] Abu
Hamid Muhammad Al Ghazali, Ihya’ Ulum ad Din, . . . hal. 1337.
[5] Muhammad
Syakir, Washaya al ‘Aba’i li al Abna’i, (Surabaya: al Miftah, 2013),
hal. 50.
[6] Syamil
Quran, Al Quran Q.S. An Nur/24:31
[7] Syamil
Quran, Al Quran Q.S. At Tahrim/66:8
[8] Syamil
Quran, Al Quran Q.S. Al Baqarah/2:222
[9] Syamil
Quran, Al Quran Q.S. An Nisaa’/4:17-18
[10]Abu
Hasan Muslim, Sahih Muslim,(Riyad: Dar al Hadarah, Cet.II, 2015), hal.
873.
[11] Abu
Hamid Muhammad Al Ghazali, Ihya’ Ulum ad Din, . . . hal. 1338.
[12] Zain
bin Ibrahim, Syarhu Hadis Jibril, Hidayah at Thalibina fi Muhimmati
ad Din, . . . , hal. 145.
[13] Muhammad
Syakir, Washaya al ‘Aba’i li al Abna’i, . . . , hal. 51.
[14] Abu
Hamid Muhammad Al Ghazali, Ihya’ Ulum ad Din, . . . hal. 1337.
[15] Zain
bin Ibrahim, Syarhu Hadis Jibril, Hidayah at Thalibina fi Muhimmati
ad Din, . . . , hal. 144.
[16] Abu
Hamid Muhammad Al Ghazali, Ihya’ Ulum ad Din, . . . hal. 1381-1382.
[17] Abu
Hamid Muhammad Al Ghazali, Ihya’ Ulum ad Din, . . . hal. 1357.
[18] Zain
bin Ibrahim, Syarhu Hadis Jibril, Hidayah at Thalibina fi Muhimmati
ad Din, . . . , hal. 142.
[19] Efrida
Harahap, dkk, Asal Usul dan Sejarah Ilmu Tasawuf, (Gunung Tua: STIT PL,
2023), hal 8-10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar