Total Tayangan Halaman

Rabu, 20 September 2023

TAUBAT NASUHA (TAWBAT AN-NASUHA)

 oleh : Muhammad Ya'kub Harahap

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Terjaga dari melakukan dosa atau kesalahan meruakan sifat yang melekat pada para Nabi Allah. Sehingga, para Nabi Allah dalam kehidupannya tidak pernah melakukan perbuatan dosa dan salah kepada-Nya, bahkan apabila salah sekalipun, kesalahanya memiliki hikmah dan menjadai rahmat bagi umatnya. Sedangkan manusia sebagai umat para Nabi ini tidak lepas dari perbuatan dosa atau kesalahan dalam menjalani kehidupanya. Sebab, manusia sebagai umat para Nabi merupakan tempatnya dosa dan salah.

Dalam islam seorang muslim dikenakan hukum taklif apabila ia telah mencapai usia baligh. Baligh pada laki-laki ditandai dengan keluarnya air mani dari alat kelaminnya, baik lewat mimpi basah ataupun lainya, atau mencapai usia baligh umumnya. Sedangkan baligh pada perempuan ditandai dengan keluarnya darah haid dari alat kelaminnya pada umur sembilan tahun atau apabila tidak keluar darah haid maka baligh nya sesuai usia baligh pada umumnya.

Manusia laki-laki dan perempuan telah mencapai usia baligh dan terkena hukum taklif tidak diimbangi pula dengan memiliki kematangan pikiran, sikap, dan kontrol terhadap hawa nafsunya. Akibatnya, perbuatan-perbuatan dosa ataupun salah yang dilarang oleh agama islam sering diabaikan dan malah dilakukannya. Seorang manusia yang telah melakukan perbuatan dosa atau kesalahan, baik dosa kecil, dosa besar, bahkan murtad sekalipun dalam ajaran islam diperintahkan agar bertaubat dari perbuatan dosa itu dengan taubat nasuha.

Dalam makalah ini, penulis akan menerangkan tentan taubat nasuha, mulai dari pengertiannya secara bahasa dan istilah, dasar hukumnya dari al-Qur’an dan Hadis serta pendapat Ulama, perbutan-perbuatan dosa, tata cara dalam pelaksanaan taubat nasuha, dan taubat nasuha dalam tasawuf.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah penjelasan dari pengertian taubat nasuha?

2.      Jelaskan sumber/dasar hukum taubat nasuha?

3.      Jelaskan tentang dosa atau kesalahan?

4.      Bagaima tata cara pelaksanaan taubat?

5.      Jelaskan hubungan taubat nasuha dalam tasawuf?

 

C.    Tujuan Penulisan

1.      Memahami pengertian taubat nasuha

2.      Memahami sumber/dasar hukum taubat nasuha

3.      Menjelaskan dosa atau kesalahan

4.      Menjelaskan tata cara pelaksanaan taubat nasuha

5.      Menjelaskan hubungan taubat nasuha dalam tasawuf


 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Taubat Nasuha

Kata taubat (توبة) merupakan bentuk masdar dari fi’il madhi taba (تاب). Selain kata taubat, fi’il madhi taba masih mempunyai bentuk mashdar yang lain, yaitu tauban (توبا) mataban (متابا) tabatan (تابة), dan tatwibatan (تتوبة) yang berarti kembali (الرجوع) atau menyesal (الندم). Sedagkan kata nasuha (نصوحا) merupakan bentuk masdar dari (نصح) yang berarti (خالص) murni atau sebetulnya, dan kedudukannya sebagai na’at pada kata taubat[1]. Dari sini dipahami bahwa taubat nasuha ialah  menyesal dan kembali dengan semurni-murni atau sebetul-betulnya.

Sedangkan secara terminologis, taubat berarti kembali dari perbuatan maksiat atau dosa menuju taat kepada Allah, dan menyesali semua perbuatan dosa yang dilakukannya[2]. Dari pengertian ini dipahami bahwa seseorang yang bertaubat adalah orang yang kembali dari sesuatu yang dilarang Allah menuju apa yang diperintahkan, orang yang kembali dari sesuatu yang dibenci Allah menuju sesuatu yang dicintai, atau orang yang kembali kepada Allah setelah berpisah, menuju taat kepada-Nya, setelah melakukan pelanggaran atau kedurhakaan.

Menurut Zain bin Ibrahim taubat ialah kembali kepada Allah dari jalan yang telah jauh menuju jalan mendekat[3]. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa perbuatan-perbuatan maksiat merupakan jalan yang menjauhkan diri seseorang dari Allah dan mengakibatkan dia jatuh pada murka dan siksaanya. Sedangkan jalan mendekatkan diri kepada Allah yaitu dengan segera menyesali perbuatan-perbuatan maksiatnya dan tidak melakukanya lagi.

Menurut imam al Ghazali taubat itu ialah pengetahuan akan bahaya besar dosa dan dosa dapat menghalangi kecintaan kepada Allah, timbulnya dalam hati penyesalan terhadap dosa dan tekad kuat untuk meninggalkannya pada waktu itu juga hingga waktu-waktu berikutnya, dan dibuktikan dengan perubahan perbuatanya pada yang baik[4]. Dari pengertian ini dipahami bahwa taubat ialah mengetahuinya seseorang akan perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu merupakan perbuatan dosa yang memberikan dampak bahaya besar baginya baik di dunia maupun di akhirat, sehingga menimbulkan perasaan bersalah dan penyesalan dalam hatinya serta bertekad untuk menjauhi dan meninggalkannya, dan melakukan amal-amal kebajikan.

Menurut Muhammad Syakir taubat ialah seseorang mengakui kepada tuhan atas kesalahan ataupun dosa yang telah terjadi pada dirinya, mengakui dirinya sebagai hamba pendosa yang akan disiksa Allah atas dosa yang telah diperbuat, merasa sedih dan menyesal atas perbuatan dosanya, berjanji kepada Allah akan tidak mengulangi perbuatan dosanya sampai akhir hidupnya, dan meminta ampunan dari Allah atasa dosa-dosanya yang telah terjadi[5].

Dari pengertian taubat di atas, dapat dipahami bahwa taubat itu sejatinya ialah tidak hanya mengucapkan dengan mulutnya “aku bertaubat” ataupun “aku bertaubat kepada Allah”, namun dia mengetahui bahaya besar atas kemaksiatan yang dilakukan, merasa sedih dan menyesal atas kemaksiatanya itu, bertekad dalam hati untuk meninggalkan dan tidak mengulanginya lagi selama-lamanya, mengganti atau menambeli setiap dosa yang berkaitan dengan hak-hak anak adam, memintakan ampunan kepada Allah atas kemaksiatanya dan melakukan amal-amal kebajikan hingga akhir hidupnya.

B.     Sumber/Dasar Hukum Taubat Nasuha

1.      Al-Qur’an

وَتُوبُوا اِلَي اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَ المُؤمِنُونَ لَعَلَّكُم تُفلِحُونَ

Artinya : “dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, mudah-mudahan kalian beruntung[6]”. (Q.S. An Nur. 31)

ياأيها الذين أمنوا توبوا الي الله توبة نصوحا

Artinya ; ‘ wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah, dengan taubat nasuha (sebenar-benarnya)[7]. (Q.S. at Tahrim. 8)

Dari dua ayat al Qur’an di atas, kalimat yang digunakan keduanya dalam menunujukan taubat ialah bentuk kalimat fi’il ‘amr, yang bermakna (طلب الأمر) tuntutan atau perintah, orang yang diperintahkan bertaubat di kedua ayat di atas itu ialah orang-orang yang beriman (mempercayai-pen) kepada Allah,bertaubat itu hanya kepada Allah semata bukan pada selainya, dan dengan taubat yang sebetul-betulnya.

Dalam ayat lain Allah juga berfirman tentang taubat, yaitu pada surah al Baqarah ayat 222 dan surah an Nisaa’ ayat 17 dan 18, yang berbunyi sebagaimana berikut :

ان الله يحب التوابين ويحب المتطهرين

Artinya : “sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang bersuci[8]”. (Q.S. al Baqarah. 222).

انما التوبة علي الله للذين يعملون السوء بجهالة ثم يتوبون من قريب فأولئك يتوب الله عليهم, وكان الله عليما حكيما. وليست التوبة للذين يعملون السيئات حتي اذا حضر أحدهم الموت قال اني تبت الأن ولا الذين يموتون وهم كفار,أولئك أعتدنا لهم عذابا اليما.

Artinya : “sesungguhnya taubat atas Allah ialah bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan sebab kebodohan, kemudian ia segera bertaubat, mereka itulah orang-orang yang diterima Allah taubatnya, dan adalah Allah maha mengetahui dan maha bijaksana. Dan bukanlah bertaubat untuk orang-orang yang mengerjakan kejelekan-kejelekan dan ketika kematian menghampiri salah satu mereka, ia berkata sesungguhnya sekarang saya bertaubat, dan tidaklah mereka mati seraya dalam keadaan kufur, mereka itulah orang-orang yang kami janjikan bagi mereka siksaan yang pedih[9]”. (Q.S. an Nisaa’. 17-18)

Dari ketiga ayat al Qur’an ini dipahami, pertama, bahwa orang-orang mu’min yang benar-benar bertaubat kepadanya akan ditempatkan pada tingkatan orang-orang yang dicintainya. Kedua, taubat seseorang itu pasti diterima Allah taubatnya, apabila dia bertaubat dengan segera tanpa menunda-nundanya setelah dia melakukan perbuatan jelek. Ketiga, taubat seseorang tidak diterima Allah apabila taubatnya dilakukan diwaktu kematiannya sudah dipastikan dalam waktu hitungan menit atau kurang lebih.

2.      Hadis

حدثني سويد ابن سعيد, حدثنا حفص ابن ميسرة, حدثني زيد ابن أسلم عن أبي صالح, عن أبي هريرة, عن رسول الله صلي الله عليه وسلم,أنه قال : قال الله عز وجل, أنا عند ظن عبدي بي, وأنا معه حيث يذكرني, والله! لله أفرح بتوبة عبده من أحدكم يجد ضالته بالفلاة, ومن تقرب الي شبرا, تقربت اليه ذراعا, ومن تقرب الي ذراعاو تقربت اليه باعا, واذا أقبل الي يمشي, أقبلت اليه أهرول.[10]

Artinya : Syuwaid bin Syaid bercerita padaku, Hafas bin Maisarah bercerita pada kami, Zaid ibn Aslam bercerita padaku dari Abi Shaleh, dari Abi Hurairah, dari Rasulullah SAW. Bahwasanya beliau bersabda, Allah yang maha agung dan maha luhur berfirman, saya disisi prasangka seorang hamba padaku, dan saya bersamanya selama hamba mengingatku, demi Allaah, pasti Allah sangat senang dengan taubat hambanya yang dari salah satu kalian yang telah tersesat (memiliki dosa) sebanyak padang pasir, barang siapa mendekatiku satu jengkal maka aku mendekatinya satu lengan,barang siapa yang mendekatiku satu lengan maka aku mendekatinya satu depa, ketika hamba menghampiriku dengan berlari pelan maka aku menghampirinya dengan berlari kencang. (H.R. Abu Hurairah)

قال عليه الصلاة والسلام : التائب حبيب الله والتائب من الذنب كمن لا ذنب له, أخرجه ابن ماجه من حديث ابن مسعود[11].

Artinya : Rasulullah SAW. Bersabda, orang yang bertaubat adalah kekasih Allah, dan orang yang taubat dari dosanya seperti orang yang tidak ada dosa baginnya. (H.R. Ibn Majah).

Dari kedua hadis di atas, dapat dipahami bahwa Allah begitu senang dan memberikan balasan yang begitu agung kepada hambanya yang mau bertaubat kepadanya, walaupun dosanya sebanyak pasir di gurun pasir, Allah tetap mengampuninya.

3.      Pendapat Ulama

Luqman Hakim dalam kitab Syarah Hadis Jibril Hidayatu at Thalibiina fi Muhimmat ad Din berkata يا بني, لا تؤخر التوبة, فان الموت يأتي بغتة , wahai anakku, janganlah engkau mengakhirkan atau berlama-lama dalam bertaubat, karena kematian itu datang dengan tiba-tiba[12].

Muhammad Syakir berkata dalam kitab Washaya al ‘abaa’i li al abnaa’i يا بني, انظر الي نفسك مع ابيك واستاذك, اذا أمراك بالمواظبة علي الدرس فاهملت وأرادا عقوبتك, فقلت اني تائب, هل تصح توبتك وأنت لاه عن دروسك؟ أليست هذه التوبة من الأكاذيب التي تستحق عليها عقوبة أخري , wahai anakkku, lihatlah dirimu bersama ayah dan gurumu, apabila keduanya memerintahkanmu agar tekun dalam belajar, kemudian kamu meninggalkanya, dan keduanya ingin menghukummu, kemudian kamu berkata, saya akan bertaubat. Apakah sah taubatmu, sedangkan kamu meninggalkan pelajaranmu?. Bukankah taubat dengan perkataan ini merupakan kebohongan yang menetapkan hukuman lain baginya[13].

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali berkata dalam kitab ‘Ihya ‘Uluum ad Din أن وجوب التوبة ظاهر بالأخبار والأيات, وهو واضح بنور البصيرة عند من انفتحت بصيرته  وشرح الله بنور الايمان صدره حتي اقتدر علي أن يسعي بنوره الذي بين يديه في ظلمات انجه, مستغنيا عن قائد يقوده في كل خطوة, bahwa kewajiban bertaubat itu tampak jelas dengan dalil Hadis dan ayat-ayat al-Qur’an, dan kewajiban taubat itu jelas pada cahaya penglihatan orang yang telah terbuka penglihatanya, dan Allah terangkan cahaya keimanan pada dadanya, sampai ia mampu berlari dengan cahaya yang berada padanya tersebut dalam kegelapan yang penuh kebodohan, dan terbebas dari pemimpin yang memimpinnya pada setiap kesalahan[14].

Dari pendapat ulama di atas, dapat dipahami bahwa bertaubat itu hukumnya wajib segera dilakukan dan tidak menunda-nundanya, sesuai dari penjelasan dalil-dalil al Qur’an dan hadis Nabi. Digambarkan pula dalam pendapat di atas, bahwa taubat tidak mengucapkannya dengan mulut saja, bahkan ucapan itu malah menjadikan dan menambahkan sebuah kesalahan atau dosa lainya.

C.    Tata Cara Pelaksanaan Taubat Nasuha

Dosa ataupun kesalahan yang dilakukan oleh seseorang itu dibagi menjadi dua macam, yaitu dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil, seperti meninggalkan shalat, puasa, berzina, minum khamar, ghosob sandal dan masih banyak lagi. Kemudian, dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil ini dibagi pula pada hal-hal yang berkaitan atas hak hamda dengan Allah dan hak hamba dengan hamba lain.

Dalam melaksanakan taubat perlu memahami dosa atau kesalahan yang kita perbuat itu apakah berhubungan dengan hak hamba dengan Allah, hak manusia dengan manusia atau Murtad. Taubat dari dosa atau kesalahan yang berhubungan denga haknya Allah itu harus melakukan empat perkara, yaitu :

1.      Meninggalkan kemaksiatan pada waktu atau hari itu juga.

2.      Menyesali perbuatan dosa-dosanya di hari-hari yang telah lewat.

3.      Bertekad untuk tidak akan mengulanginya lagi di kemudian hari.

4.      membayarkan kifarat atau melakukan Qadha’ pada dosa-dosa yang wajib membayarkan kifarat atau melakukan Qadha’[15]. Seperti seseorang yang meninggalkan puasa ramadhan dan tidak menggantinya setelah tiba bulan puasa kembali dan dosa meninggalkan kewajiban shalat lima waktu dan masih banyak lagi lainya.

Sedangkan taubat dari dosa ataupun kesalahan yang berkaitan dengan hak manusia, maka harus melakukan empat perkara juga, yaitu :

1.      Mengetahui dan menyadari bahaya besar dan macam-macam dosa atau kesalahan yang dilakukan dan kewajiban untuk segera melakukan taubat.

2.      Menyesali dengan sangat setiap dosa ataupun keselahan yang telah dilakukannya.

3.      Meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa atau kesalahanya dan bertekad untuk tidak melakukanya kembali sampai akhir hidupnya di dunia.

4.      Mengganti atupun mengembalikan setiap dosa atau kesalahan yang berhubungan dengan harta maupun benda orang lain yang diambil, meminta keridhaan pemiliknya, dan memintakan kehalalanya[16]. Seperti seseorang yang mencuri harta atau barang milik orang lain, maka wajib baginya untuk mengembalikan ataupun memberikan ganti sesuai dengan nilai barang yang diambilnya itu, meminta keridhaan pemiliknya atas penggunakan barang itu, dan meminta kehalalan dari pemilik dalam pemanfaatan barang tersebut.

Adapun taubat dari kemurtadan, maka seseorang tersebut harus membersihkan dan membenarkan kepercayaannya kepada Allah. Seseorang itu harus mengingkari tuhan yang lain selain Allah di dalam hatinya dan mengimani dengan bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan nabi Muhammad SAW. merupakan seorang Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah dalam hatinya serta mengucapkannya[17]. Kemudian setelahnya, seseorang itu melaksanakan setiap yang diperintahkan dan menjauhi setiap yang dilarang oleh agama.

D.    Taubat Nasuha dalam Tasawuf

Tasawauf  dalam gambaran umunya ialah keluar dari setiap perbuatan-perbuatan yang hina dan tercela baik didalam bersikap, berfikir, dan berhati, dan menghiasi diri dengan sikap, pikiran, dan hati yang baik[18]. Kemudian pada akhirnya tasawuf merupakan setiap langkah-langkah yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Allah dengan mata hati dan bersatu dengan Allah dalam setiap perbuatanya.

Dalam mencapai tujuan tasaawuf diatas, maka seorang hamba melewati berbagai jalan yang ditetapkan dalam tasawuf, yaitu taubat, zuhud, wara’, tawakkal, dan ridha’, atau mahabbat an nafsi, penyucian jiwa, taubat nasuha,, takholli, tahalli, tajalli, dan mahabbah[19].

Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa taubat nasuha merupakan salah satu jalan yang wajib ditempuh dan dijalani seseorang untuk mencapai tingkatan tertinggi dalam tasawuf. Seseorang yang bertasawud harus bertaubat dengan menyesali dan meninggalkan setiap dosa atau kesalahan dari perbuatan atau sikapnya, pikiran atau akalnya, dan keburukan atau kejelakan hatinya.

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari pemaparan makalah ini, dapat diambil kesimpulan sebagaimana berikut :

1.      Taubat itu sejatinya ialah tidak hanya mengucapkan dengan mulutnya “aku bertaubat” ataupun “aku bertaubat kepada Allah”, namun dia mengetahui bahaya besar atas kemaksiatan yang dilakukan, merasa sedih dan menyesal atas kemaksiatanya itu, bertekad dalam hati untuk meninggalkan dan tidak mengulanginya lagi selama-lamanya, mengganti atau menambeli setiap dosa yang berkaitan dengan hak-hak anak adam, memintakan ampunan kepada Allah atas kemaksiatanya dan melakukan amal-amal kebajikan hingga akhir hidupnya.

2.      Perintah untuk melakukan taubat itu memiliki dasar atau sumber hukum dari dalil-dalil al Qur’an, Hadis nabi Muhammad, maupun perkataan Ulama.

3.      Dalam melaksanakan taubat perlu memahami dosa atau kesalahan yang kita perbuat, meninggalkan kemaksiatan, menyesali perbuatan dosa-dosanya, bertekad untuk tidak akan mengulanginya, membayarkan kifarat atau melakukan qadha’, atau mengganti atupun mengembalikan setiap dosa atau kesalahan yang berhubungan dengan harta maupun benda orang lain yang diambil, atau juga harus mengingkari tuhan yang lain selain Allah di dalam hatinya dan mengimani dengan bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan nabi Muhammad SAW. merupakan seorang Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah dalam hatinya serta mengucapkannya.

4.      Taubat merupakan salah satu jalan yang wajib ditempuh dan dijalani seseorang untuk mencapai tingkatan tertinggi dalam tasawuf. Seseorang yang bertasawud harus bertaubat dengan menyesali dan meninggalkan setiap dosa atau kesalahan dari perbuatan atau sikapnya, pikiran atau akalnya, dan keburukan atau kejelakan hatinya.

B.     Saran

Demikian makalah ini ditulis, apabila ada kesalahan yang terdapat dalam makalah ini, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Yunus Mahmud. 2010. Kamus Arab Indonesia. Ciputat: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyyah.

Muhammad Al Ghazali, Abu Hamid. 2005. Ihya’ Ulum ad Din. Beirut: Dar Ibn Hazm.

Ridho, Ali. 2019. Konsep Taubat Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Minhajul ‘Abidin, Jurnal Aqidah-Ta Vol. V No. 1.

Ibrahim, bin, Zain. 2006. Syarhu Hadis Jibril, Hidayah at Thalibina fi Muhimmati ad Din. Surabaya: Dar al Ulum al Islamiyyah.

Muslim, Hasan, Abu. 2015. Sahih Muslim. Riyad: Dar al Hadarah. Cet.II.

Syamil Quran. 2013. Terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia. Surabaya: Halim.

Syakir, Muhammad. 2013. Washaya al ‘Aba’i li al Abna’i. Surabaya: al Miftah.

Harahap, Efrida. dkk.  2023. Asal Usul dan Sejarah Ilmu Tasawuf. Gunung Tua: STIT PL.


[1] Abu Hamid Muhammad Al Ghazali, Ihya’ Ulum ad Din, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005), hal. 1336-1338.

[2] Ali Ridho, “Konsep Taubat Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Minhajul ‘Abidin”, Jurnal Aqidah-Ta Vol. V No. 1. 2019. Hal. 35.

[3] Zain bin Ibrahim, Syarhu Hadis Jibril, Hidayah at Thalibina fi Muhimmati ad Din, (Surabaya: Dar al Ulum al Islamiyyah, 2006), hal. 143.

[4] Abu Hamid Muhammad Al Ghazali, Ihya’ Ulum ad Din, . . . hal. 1337.

[5] Muhammad Syakir, Washaya al ‘Aba’i li al Abna’i, (Surabaya: al Miftah, 2013), hal. 50.

[6] Syamil Quran, Al Quran Q.S. An Nur/24:31

[7] Syamil Quran, Al Quran Q.S. At Tahrim/66:8

[8] Syamil Quran, Al Quran Q.S. Al Baqarah/2:222

[9] Syamil Quran, Al Quran Q.S. An Nisaa’/4:17-18

[10]Abu Hasan Muslim, Sahih Muslim,(Riyad: Dar al Hadarah, Cet.II, 2015), hal. 873.

[11] Abu Hamid Muhammad Al Ghazali, Ihya’ Ulum ad Din, . . . hal. 1338.

[12] Zain bin Ibrahim, Syarhu Hadis Jibril, Hidayah at Thalibina fi Muhimmati ad Din, . . . , hal. 145.

[13] Muhammad Syakir, Washaya al ‘Aba’i li al Abna’i, . . . , hal. 51.

[14] Abu Hamid Muhammad Al Ghazali, Ihya’ Ulum ad Din, . . . hal. 1337.

[15] Zain bin Ibrahim, Syarhu Hadis Jibril, Hidayah at Thalibina fi Muhimmati ad Din, . . . , hal. 144.

[16] Abu Hamid Muhammad Al Ghazali, Ihya’ Ulum ad Din, . . . hal. 1381-1382.

[17] Abu Hamid Muhammad Al Ghazali, Ihya’ Ulum ad Din, . . . hal. 1357.

[18] Zain bin Ibrahim, Syarhu Hadis Jibril, Hidayah at Thalibina fi Muhimmati ad Din, . . . , hal. 142.

[19] Efrida Harahap, dkk, Asal Usul dan Sejarah Ilmu Tasawuf, (Gunung Tua: STIT PL, 2023), hal 8-10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar