Oleh : Muhammad Ya'kub Harahap
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam sebagai agama yang syamil wa mutakammil (menyeluruh
dan sempurna) mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk hal-hal yang
berhubungan dengan interaksi sosial dalam kehidupan antar sesama manusia. Salah
satu bentuk interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari adalah kegiatan
pinjam-meminjam (‘Ariyyah) dan kerjasama/bagi hasil (Qiradh).
Contoh diatas merupakan kegiatan yang sering dilakukan dalam
keseharian hampir semua orang. Di saat setiap orang tidak selalu memiliki semua
barang untuk memenuhi kebutuhannya, maka salah satu jalan keluarnya adalah
dengan meminjamnya dari orang lain. Terkadang ada seseorang yang punya
kemampuan untuk mengelola perdagangan namun tidak memiliki modal dan ada yang
punya modal tapi tidak mampu berdagang.
Dalam tulisan ini akan dibahasa tentang ketentuan-ketentuan syariah
yang berkaitan dengan kegiatan pinjam-meminjam (‘Ariyyah) dan Qiradh.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaiman
penjelasan syari’ah tentang pinjam-meminjam (‘Ariyyah) ?
2.
Bagaimana
penjelasan tentang Qiradh ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Memahami
penjelasan tentang pinjam-meminjam (‘Ariyyah)
2.
Memahami
penjelasan tentang Qiradh
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pinjam-Meminjam (‘Ariyyah)
1.
Pengertian
’Ariyyah itu berasal
dari kata fi’il madhi ‘Ara yang artinya berjalan, atau bisa berasal dari
masdar al i’tiwar yang artinya berganti-gantian[1]. Pemahaman
dari yang kata pertama yaitu seseorang yang hendak meminjam berjalan mendatangi
orang yang dipinjam. Sedangkan pemahaman dari kata kedua yaitu pinjam-meminjam
dilakukan pada orang-orang yang berbeda dan secara berganti-gantian.
‘Ariyyah dalam istilah
ilmu fiqh memiliki pengertian yang berbeda-beda. Menurut Ulama hanafiyyah dan
malikiyyah ‘Ariyyah ialah menyerahkan kepemilikan manfaat suatu benda
dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan[2].
Sedangkan menurut Ulama syafi’iyah, ‘Ariyah ialah seorang pemilik
barang membolehkan menggunakan manfaat barang yang halal digunakan manfaatnya,
barangnya tetap pada wujudnya dan dengan tanpa imbalan[3].
Dari kedua definisi di atas menghasilkan konsekuensi hukum yang berbeda.
Hanafiyyah dan Malikiyyah menganggap bahwa ‘ariyah adalah penyerahan kepemilikan
hak guna suatu benda dalam jangka waktu tertentu. Itu artinya, peminjam barang
selama jangka waktu pinjaman berhak untuk meminjamkan atau menyewakan barang
pinjamannya kepada pihak lain tanpa seizin pemilik barang. sebab dia dianggap
memiliki hak guna barang tersebut. Sedangkan Syafi’iyah hanya sebatas memberi
izin untuk menggunakan barang, bukan memiliki hak guna barang tersebut.
Sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan atau menyewakan kepada pihak lain
tanpa seizin dari pemilik barang.
2.
Dasar
Hukum ‘Ariyah
a.
Al-Qur’an
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا
اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Artinya : “tolong menolonglah kalian dalam
perbuatan baik dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong pada perbuatan dosan
dan permusuhan dan bertakwalah kalian kepada allah, sesungguhnya allah sangat
pedih siksanya[4]”.(Q.S. al Maidah. 2)
Meminjamkan barang kepada seorang muslim yang
sangat membutuhkan merupakan salah satu dari perbuatan baik yang dapat
menumbuhkan persahabatan dan menguatkan persaudaraan. Demikian ini merupakan
perbuatan yang terpuji, dan setiap perbuatan terpuji disyari’atkan oleh agama.
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
Artinya : “mereka enggan untuk memberikan
bantuan[5]”.
(Q.S. al Ma’un, 7)
Islam menganjurkan pemeluknya agar memberikan bantuannya pada
setiap perbuatan-perbuatan baik dan melarang pemeluknya menghalangi maupun
menghambat setiap perbuatan-perbuatan baik. Sedang kan meminjamkan barang pada
saudara yang membutuhkan termasuk perbuatan baik.
b.
Hadis
عَن صَفوَانَ بِن أُمَيَّةَ رضي الله عنه "أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّي
اللهُ عَلَيهِ وسَلَّمَ استَعَارَ مِنهُ دُرُوعًا يَومَ حُنَينٍ, فَقَالَ أَغَصبٌ
يَا مُحَمَّدُ ؟ قال بَل عَاريَّةٌ مَضمُونَةٌ" رَوَاهُ أَبُو دَاوُودَ
وَالنَّسَائِيُّ وأَحمَدُ.
Artinya : “diriwayatkan
dari Safwan bin Umayyah R.A. bahwasanya nabi Muhammad meminjam baju perang
darinya pada perang hunain, kemudia ia bertanya, apakah kamu menngambilnya
dengan paksa wahai muhammad?, Nabi menjawab, akan tetapi ini adalah meminjam
yang dijamin[6]”.
(H.R. Abu Dawud, An Nasa’i dan Ahmad)
Dari
hadis ini dipahami bahwa
Rasulullah pernah meminjam baju perang salah satu sahabatnya ketika perang
hunain dengan memberikan imbalan. Artinya, beliau mengembalikan barang pinjaman
itu setelah selesai meminjam dan menambahi dengan imbalan.
عَن سَمُرَةَ بِن جُندَبٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيهِ
وَسَلَّمَ : عَلَي اليَدِّ مَا أَخَذَت حَتَّي تُؤَدِّيَهُ, رواه أحمد.
Artinya : “diriwayatkan
dari sumarah bin Jundab, ia berkata, Rasulullah bersabda, ditangan orang yang meminjam biaya yang
digunakan sampai barangnya dikembalikan[7]”.
(H.R. Ahmad)
Dari
hadis ini dipahami bahwa,
biaya yang digunakan untuk keperluan barang yang sedang dipinjam itu ditanggung
oleh yang meminjam sampai ia mengembalikannya pada pemilik barang.
عن يعلي بن أمية رضي الله عنه قال : قال لي رسول الله صلي الله عليه وسلم, اذا أتتك رسلي
فأعطهم ثلاثين ذرعا, قلت يا رسول الله أعارية مضمونة أو عارية مؤداة, قال بل عارية
مؤداة. رواه أحمد والنسائي وأبو داوود
Artinya
: “diriwayatkan dari Ya’la bin Umayyah, ia berkata, Rasulullah SAW.
Bersabda, apabila utusanku mendatangimu, maka berikan mereka tiga puluh baju
perang. Saya bertanya, apakah pinjaman yang dijamin atau pinjaman yang
dikembalikan?. Rasullah menjawab, itu pinjaman yang dikembalikan[8]”.
(H.R. Ahmad, an Nasa’i dan Abu Dawud)
Dari
hadis ini dipahami bahwa seseorang yang meminjam barang itu bisa mengembalikan
barang pinjaman tanpa harus memberikan biaya atau imbalan meminjam.
3.
Rukun-Rukun
Pinjam-Meminjam
Akad pinjam-meminjam (‘ariyah) memiliki empat rukun, yaitu
orang yang meminjam, orang yang meminjamkan, barang pinjaman dan serah terima[9].
a.
Orang
yang Meminjam
Orang
yang meminjam barang pinjaman harus diketahui orangnya dan bijaksana dalam
menggunakan barang pinjaman.
b.
Orang
yang Meminjamkan
Orang
yang meminjamkan barang pinjaman harus baligh, berakal, pemilik manfaat barang
pinjaman, dan bukan orang yang dibatasi pada barang pinjaman karena
kebodohannya, seperti anak kecil.
c.
Barang
Pinjaman
Barang
Pinjaman menjadi sah untuk dipinjamkan sebagai ‘ariyah, jika memenuhi
tiga hal berikut:
1)
Barang
yang dipinjamkan merupakan barang yang halal untuk dimanfaatkan dan tidak
digunakan untuk tujuan yang diharamkan[10].
Seperti, meminjam pisau untuk menyembelih hewan curian atau meminam linggis
untuk merusak pintu rumah orang lain.
2)
Barang
pinjaman tersebut bisa diambil manfaatnya tanpa harus memusnahkan atau
menghabiskannya[11].
Tidak sah disebut sebagai ‘ariyah jika yang dipinjamkan adalah barang
yang habis pakai seperti makanan, sabun, lilin, rokok dan sebagainya.
3)
Barang
Pinjaman tersebut diambil manfaatnya setelah meminjamnya pada waktu seketika
itu juga atau digunakan belakangan apabila barang yang dipinjam itu hanya bisa
digunakan manfaatnya di waktu berikutnya[12]. Contoh
barang pinjaman yang digunakan pada waktu belakangan seperti kuda kecil yang
bisa diambil manfaatnya setelah ia dewasa.
d.
Serah
Terima
Serah
terima barang pinjaman bisa menggunakan ucapan, isyarah atau perbuatan yang
menunjukan pemberian izin manfaat barang pinjaman tanpa imbalan.
4.
Jenis
Pinjam-Meminjam
Pinjam-meminjam
memiliki dua macam kategori yaitu, akad pinjaman muthlak dan akad
pinjaman muqayyad.
a.
Akad
Pinjaman Muthlak
Akad
pinjaman muthlak artinya seseorang meminjamkan barangnya tanpa dibatasi
waktunya sama sekali dan boleh mengambil barang yang dipinjamkan kapan saja dengan memperhatikan kondisi orang
yang dipinjami.
b.
Akad
Pinjaman Muqayyad
Akad
pinjaman muqayyad artinya seseorang meminjamkan barangnya dibatasi dengan waktu
tertentu dan aturan tertentu. Orang yang meminjamkan tidak boleh mengambil
barangnya sebelum habis waktu yang ditentukan dan orang yang meminjam tidak
boleh menggunakan barang pinjaman tidak sesuai dengan aturan yang ditentukan dan
tidak boleh pula terlambat waktu mengembalikan kecuali ada kejadian yang tidak
diinginkan[13].
5.
Hukum
Pinjam-Meminjam
‘Ariyah atau pinjam-meminjam hukumnya memiliki empat macam tergantung pada
kondisi yang menyertainya. Yaitu :
a.
Sunnah
Meminjamkan
barang hukumnya sunnah jika orang yang meminjam merasakan manfaat dari barang pinjaman
tersebut dan tidak menimbulkan mudarat bagi pemilik barang.
b.
Wajib
Meminjamkan
barang hukumnya wajib jika orang yang meminjam benar-benar membutuhkan barang
pinjaman tersebut untuk menjaga nyawanya atau menyembuhkan penyakitnya dan
tidak menimbulkan mudarat bagi pemilik barang.
c.
Haram
Meminjamkan
barang hukumnya haram jika orang yang meminjam menggunakan barang pinjaman
tersebut untuk kemaksiatan atau hal yang dilarang agama[14].
d.
Makruh
Pinjam-meminjam
barang hukumnya bisa menjadi makruh, jika berdampak pada hal yang makruh.
Seperti meminjamkan hamba sahaya untuk bekerja kepada seorang kafir[15].
B.
Qiradh
Istilah Qiradh dikemukakan oleh Ulama Hijaz, Sedangkan
Ulama’ Iraq, menyebutnya dengan istilah Mudharabah[16].
Walupun terjadi perbedaan istilah dikalangan Ulama Iraq dan Hijaz, keduanya
tetap memeliki penjelasan dan pemaknaan yang sama.
1.
Pegertian
Lafazh Qiradh menurut bahasa adalah berasal dari lafazh Qardhu
dengan makna Qat’u artinya memutus. Sedangkan menurut syara’ ialah satu
akad penyerahan harta yang dilakukan oleh pemiliknya kepada seseorang supaya
memperdagangkan harta tersebut dan keuntungannya dibagi berdua serta kerugianya
ditanggung oleh pemilik harta[17].
Sedangkan menurut Ulama fiqh, Qiradh ialah akad diantara dua
orang yang melakukan perjanjian, agar salah satunya memberikan harta miliknya
kepada seseorang yang lain supaya diperdagangkan olehnya, dengan bagian keuntungan
yang besar dan diketahui serta dengan syarat-syarat tertentu[18].
Dari
pengertian di atas, bisa dipahami bahwa akad Qiradh kerjasama dalam
perdagangan ataupun penjualan antara pemilik modal dan pekerjanya dengan
kontrak perjanjian kerja dan bagian pasti bagi pekerja dari keuntungan yang
dihasilkan. Bagian untuk pekerja bisa separuh atau sepertiga dari hasil
perdagangan tersebut.
2.
Dasar
Hukum Qiradh
a.
Al-Qur’an
لَيسَ عَليكُم جُنَاحٌ أَن تَبتَغُوا فَضلًا مِن رَّبِّكُم . . .
Artinya
: “bukanlah suatu kesalahan bagi kalian jika mencari keutamaan atau karunia
dari tuhan kalian”[19].
(Q.S. al-Baqarah. 198)
Dari
ayat ini, bisa dipahami bahwa mencari karunia atau keutamaan dari tuhan itu
ialah mencari keuntungan, baik melalui jual beli ataupun kontrak kerja (Qiradh).
b.
Hadis
عَن صُهَيبٍ رَضِيَ اللهُ عَنهُ أَنَ النَبِيَّ قَالَ, ثَلَاثٌ فِيهِنَّ
البَرَكَةُ, البَيعُ اِلَي أَجَلٍ, وَالمُقَارَضَةُ, وَخَلطُ البُرِّ بِالشَعِيرِ
لِلبَيتِ لَا لِلبَيعِ. رواه ابن ماجه.
Artinya
: “diriwayatkan dari Shuhaib R.A. bahwasanya Nabi pernah berkata, ada tiga
hal yang didalamnya ada keberkahan, yaitu berjual pada waktunya, dan kerja sama
(bagi hasil.pen.), dan mencampur beras bagus dengan beras jelek untuk keperluan
rumah, bukan untuk berjualan”[20].(H.R.
Ibn Majah)
Dari
hadis ini, dapat dipahami bahwa akad kerjasama atau bagi hasil (Qiradh)
merupakan kesunnahan yang memiliki keberkahan dan pernah dilakukan oleh Rasulullah
dengan Siti Khodijah sebelum keduanya menikah. Pada waktu itu Rasullah membawa
harta siti khodijah ke negara Syam untuk diperdagangkan.
عن حكيم بن حزام رضي الله عنه أنه كان يشترط علي الرجل اذا أعطاه مالا
مقارضة أن لا تجعل مالي في كبد رطبة ولا تحمله في بحر, ولا تنزل به في بطن مسيل,
فان فعلت شيئا من ذلك فقد ضمنت مالي. رواه الدارقطني.
Artinya
: “diriwayatkan dari Hakim bin Hizam R.A. bahwasanya Dia mensyaratkan kepada
seorang laki-laki yang diberikan hartanya agar tidak menggunakan hartaku
membeli hewan hidup, tidak membawanya ke laut, dan tidak meletakkanya ditempat
air mengalir”. (H.R. ad Daruquthni)
Dari
hadis ini, dapat dipahami bahwa akad Qiradh bisa dilakukan dengan
menentukan syarat-syarat yang berkaitan dengan kemaslahatan bersama.
3.
Syarat
dan Rukun Qiradh
Syarat
Qiradh adalah hal-hal yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan sebagai
akad Qiradh. Apabila syarat-syarat ini tidak terpenuhi salah satunya,
maka tidak dapat dikatakan sebagai akad Qiradh. Adapun syarat-syarat Qiradh
ada empat, yaitu :
a.
Akad
Qiradh menggunakan bentuk uang ataupun harta lain yang dapat dijadikan
modal dagang pada umumnya dengan besaran ukuran modal yang diketahui dan
sepakati oleh pemilik dan pekerja.
b.
Pemilik
harta (modal) dalam akad Qiradh memberikan izin pada pekerja untuk
digunakan dalam perdagangan tanpa menuntut pekerja dengan ketentuan-ketentuan
yang mempersempit dan mempersulit perdagangan.
c.
Pemilik
harta (modal) menentukan bagian pasti bagi pekerja dari keuntungan yang
dihasilkan dalam perdagangan sewaktu akad , misalnya seperdua atau sepertiga
dari jumlah keuntungan.
d.
Akad
Qiradh tidak dipastikan waktu berakhirnya akad. Walaupun begitu, pemilik
modal ataupun pekerja memiliki wewenang yang sama untuk mengakhiri Qiradh terdapat
sesuatu yang mencederai dasar Qiradh, yaitu kepercayaan (amanah[21]).
Sedangkan
rukun Qiradh adalah adanya serah terima (ijab-qobul) dengan
menggunakan kalimat ataupun tulisan yang dapat dipahami menunjukkan tentang Qiradh,
seperti ucapan “ambillah harta ini dan pergunakanlah untuk pekerjaan[22]”.
Dari
persyaratan dan rukun di atas, bisa dipahami bahwa Qiradh yang tidak
memenuhi salah satu persyaratan ataupun rukun tersebut tidak bisa dikatakan Qiradh.
4.
Macam-Macam
Qiradh
Qiradh
ada dua macam, yaitu qiradh mutlak (al-mutlaq) dan qiradg terikat (almuqayyad).
a.
Qiradh
mutlaq (mutlak) adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha tanpa
memberikan batasan, seperti berkata “saya serahkan uang ini kepada mu untuk
diusahakan, sedangkan labanya akan dibagi di antara kita, masing-masing
setengah atau sepertiga, dan lain-lain”.
b.
Qiradh
muqayyad (terikat) adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha
dengan memberikan batasan. Seperti persayaratan bahwa pengusaha harus berdagang
di daerah gunung tua atau harus berdagang sepatu, atau membeli barang dari orang
tertentu, dan lain-lain.
Ulama
Hanafiyah dan Imam Ahmad memperbolehkan memberi batasan dengan waktu dan orang,
tetapi ulama Syafi’iyah dan Malikiyah melarangnya. Ulama’ Hanafiyah dan Ahmad
pun membolehkan akad apabila dikaitkan dengan masa yang akan datang, seperti,
“Usahakan modal ini mulai bulan depan,” sedangkan ulama’ Syafi’iyah dan
Malikiyah melarangnya.[23]
5.
Hukum
dan Cara Pelaksanaan Qiradh
a.
Hukum
Dalam
akad Qiradh terdapat kemaslahatan yang banyak bagi manusia, sehingga
syari’at membenarkannya. Adapun hukum Qiradh ada dua, yaitu Sunnah dan
Mubah. Kesunnahan Qiradh ini dilandasi dengan kaidah fiqh yang maksudnya
yaitu menjaga pekerjaan yang didalamnya terdapat kemaslahatan dianjurkan oleh
syari’at. Sedangkan kemubahan qiradh didasari kaidah yang mengatakan
bahwa hukum asal mu’amalah adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil yang
menjelaskan keharamannya.
b.
Cara
Pelaksanaan
Karena
orang yang bekerja wajib ikhlas dan atas dasar kepercayaan maka, pekerja dalam
segala urusan yang bersangkutan dengan qiradh, hendaklah ia dibenarkan
dengan semua sumpahnya apabila ia mengatakan tidak mendapat keuntungan atau
hanya memperoleh sedikit keuntungan. Begitu juga banyak dan sedikitnya modal,
atau dia mengatakan bahwa modalnya hilang, semua pengakuan tersebut hendaklah
diperkuat dengan sumpahnya.
Sedangkan
apabila orang yang bekerja dan yang punya modal berselisih tentang pembagian
keuntungan, semisal, orang yang bekerja mengatakan untuk dia seperdua,
sedangkan yang punya modal sepertiga, kedua-duanya hendaklah besumpah, dan
orang yang bekerja di beri keuntungan menurut kebiasaan yang berlaku di tempat
dan waktu itu.
Akad qiradh
adalah akad saling percaya. Maka apabila ada barang yang hilang, yang bekerja
tidak wajib mengganti, kecuali jika karena kelalaiannya. Kerugian hendaklah
ditutupi (diganti) dengan keuntungan. Kalau masih juga rugi, kerugian itu
hendaklah dipikul oleh pemilik modal, sedangkan pekerja tidak dituntut untuk
mengganti kerugian.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pinjam-meminjam
(‘Ariyah) adalah penyerahan kepemilikan hak guna suatu benda dalam
jangka waktu tertentu atau hanya sebatas memberi izin untuk menggunakan barang,
bukan memiliki hak guna barang. Sedangkan qiradh adalah kerjasama dalam
perdagangan ataupun penjualan antara pemilik modal dan pekerjanya dengan
kontrak perjanjian kerja dan bagian pasti bagi pekerja dari keuntungan yang
dihasilkan.
2.
Pinjam-meminjam (‘Ariyah) dan qiradh
sama-sama memiliki landasan hukum dari Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad
SAW.
3.
Akad
pinjam-meminjam (‘ariyah) memiliki empat rukun, yaitu orang yang
meminjam, orang yang meminjamkan, barang pinjaman dan serah terima. Sedangkan qiradh
rukunya adalah adanya serah terima (ijab-qobul) dengan menggunakan
kalimat ataupun tulisan yang dapat dipahami menunjukkan tentang qiradh dan
syarat Qiradh ada empat, yaitu menggunakan bentuk uang ataupun harta
lain, pemilik harta (modal) dalam akad qiradh memberikan izin pada
pekerja untuk digunakan dalam perdagangan, pemilik harta (modal) menentukan
bagian pasti bagi pekerja dari keuntungan, dan akad qiradh tidak
dipastikan waktu berakhirnya akad.
4.
‘Ariyah atau pinjam-meminjam hukumnya memiliki empat macam tergantung pada
kondisi yang menyertainya, yaitu sunnah, wajib, haram dan makruh. Sedangkan qiradh
hukumnya ada dua, yaitu Sunnah dan Mubah.
5.
Akad
qiradh adalah akad saling percaya. Maka dalam pelaksanaanya, apabila ada
barang yang hilang, yang bekerja tidak wajib mengganti, kecuali jika karena
kelalaiannya. Kerugian hendaklah ditutupi (diganti) dengan keuntungan. Kalau
masih juga rugi, kerugian itu hendaklah dipikul oleh pemilik modal, sedangkan
pekerja tidak dituntut untuk mengganti kerugian.
B.
Saran
Demikian
makalah ini ditulis, apabila ada kesalahan yang terdapat dalam makalah ini,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Yunus Mahmud.
2010. Kamus Arab Indonesia. Ciputat: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyyah.
Nawawi, Muhammad.
2002. Qut al Habibi al Ghoribi Tawsyeh ‘ala Ibn Qosim. Jakarta : Dar Al
Kutub Al Islamiyah.
Wahab, Abdul, Muhammad.
2018. Fiqh Pinjam Meminjam. Jakarta Selatan: Rumah Fiqh Publishing.
Al Jazari, Rahma,
Abdur. 2003. Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah. Libanon: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah.
Juz 2.
Al Jazari,
Rahma, Abdur. 2003. Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah. Libanon: Dar al
Kutub al ‘Ilmiyah. Juz 3.
Syamil Quran. 2013. Terjemahan Kementerian Agama Republik
Indonesia. Surabaya: Halim.
Ali, bin, Ahmad.
2002. Bulughul Maram min Adillat al Ahkam. Jakarta: Dar Kutub Islamiyyah.
Bakar, Abi, Taqiyuddin.
2015. Kifayat Al Akhyar fi Halli Ghoyat al Ikhtishar. Kairo: Dar ibn Jawzi.
Afandi, Yazid, Muhammad.
2009. Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Logung Pustaka,.
[1]
Muhammad Nawawi, “Qut al Habibi al Ghoribi Tawsyeh ‘ala Ibn Qosim”, (Jakarta
: Dar Al Kutub Al Islamiyah, 2002), hal. 310.
[2]
Muhammad Abdul Wahab, “Fiqh Pinjam Meminjam”, (Jakarta Selatan : Rumah
Fiqh Publishing, 2018), hal. 6.
[3] Abdur
Rahma Al Jazari, “Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah” (Libanon : Dar
al Kutub al ‘Ilmiyah, 2003) Juz 2, hal. 239.
[4] Syamil Quran, Al Quran Q.S. Al-Maidah/6:2
[5] Syamil Quran, Al Quran Q.S. Al-Ma’un/107:7
[6] Ahmad
bin Ali, “Bulughul Maram min Adillat al Ahkam”, (Jakarta : Dar
Kutub Islamiyyah, 2002), hal. 164.
[7] Ahmad
bin Ali, “Bulughul Maram min Adillat al Ahkam”, . . . hal. 164
[8] Ahmad
bin Ali, “Bulughul Maram min Adillat al Ahkam”, . . . hal. 164
[9] Abdur
Rahma Al Jazari, “Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah” . . . Juz 3,
hal. 240.
[10] Muhammad
Nawawi, “Qut al Habibi al Ghoribi Tawsyeh ‘ala Ibn Qosim”, . . . hal.
310.
[11] Muhammad
Nawawi, “Qut al Habibi al Ghoribi Tawsyeh ‘ala Ibn Qosim”, . . . hal.
311.
[12] Abdur
Rahma Al Jazari, “Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah”, . . . hal. 241.
[13]
Taqiyuddin Abi Bakar, “Kifayat Al Akhyar fi Halli Ghoyat al Ikhtishar”,
(Kairo : Dar ibn Jawzi, 2015), hal.275.
[14]
Abdur Rahma Al Jazari, “Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah” (Libanon :
Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 2003) Juz 2, hal. 239.
[15] Muhammad
Abdul Wahab, “Fiqh Pinjam Meminjam”, . . . hal. 8.
[16]
Muhammad Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta, Logung Pustaka,
2009), hal. 97.
[17] Muhammad
Nawawi, “Qut al Habibi al Ghoribi Tawsyeh ‘ala Ibn Qosim”, . . . hal.
319.
[18] Abdur
Rahma Al Jazari, “Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah” (Libanon : Dar al
Kutub al ‘Ilmiyah, 2003) Juz 3, hal. 34.
[19] Syamil Quran, Al Quran Q.S. al Baqarah/2:198.
[20] Ahmad
bin Ali, “Bulughul Maram min Adillat al Ahkam”, . . . hal. 167.
[21] Muhammad
Nawawi, “Qut al Habibi al Ghoribi Tawsyeh ‘ala Ibn Qosim”, . . . hal.
321.
[22] Abdur
Rahma Al Jazari, “Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah”, Juz 3, . .
. hal. 36.
[23] Ferdy
Saputra, Amar Maulana, “Pemahaman
Masyarakat Tentang Mudharabah (Qiradh),
Hiwalah, Dan Syirkah Dalam Islam”, Jurnal Maqasidi, Vol. 01. No.1. 2014, hal. 65.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar