Oleh : Muhammad Ya'kub Harahap
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Diskriminasi terhadap perempuan merupakan masalah yang kerapkali
terjadi di hampir seluruh lapisan kelompok masyarakat, bahkan di sebagian besar
belahan dunia sekalipun. Alasannya cukup jelas masyarakat belum mampu
melepaskan diri dari budaya patriarki yang selama ribuan tahun menjerat dan
memaksa perempuan berada di bawah kekuasaan pria. Bukan tanpa sebab bila
pendidikan sangat penting bagi perempuan, karena perempuan memiliki peran
sangat penting dalam peningkatan kualitas generasi muda.
Dalam Islam disebutkan Ibu adalah madrasah bagi anak-anaknya. Dengan
demikian diperlukan kesadaran adanya peningkatan kualitas pendidikan bagi
seorang ibu, mengingat tanggung jawab dan perannya sebagai pendidik pertama dan
utama. Sudah menjadi suratan bahwa perempuanlah yang melahirkan anak,
membesarkan generasi bangsa yang secara alamiah ia memiliki hubungan emosional
yang paling dekat dengan anak. Sesuai dengan harkat, martabat, dan kodratnya,
kaum perempuan mempunyai peran dalam membentuk, menentukan, dan memberi warna terhadap
kualitas generasi bangsa.
Namun praktis, ruang gerak perempuan dibatasi karena perspektif
yang kurang adil dalam mendudukkannya sebagaimana mestinya termasuk dalam hal
pendidikan. Dalam tulisan ini, penulis akan menguraikan tentang pengertian
gender dan gender dalam Al-Qur’an, di Indonesia dan di sekolah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
Gender itu?
2.
Bagaimana
Gender dalam Al-Qur’an, di Indonesia dan di Sekolah?
3.
Apa
Manfaat Kesetaraan Gender di Sekolah?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Memahami
Gender
2.
Memahamai
penerapan gender dalam Al-Qur’an, di Indonesia dan di Sekolah
3.
mewujudkan
kesetaraan gender di sekolah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perspektif Gender
Istilah "Gender" berasal dari bahasa Inggris "gender"
berarti jenis kelamin, dan gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak
antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Sedangkan menurut Istilah Gender diartikan sebagai berikut :
1.
Di
dalam Women Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu
konsep kultural yang berupaya membut pembedaan dalam hal peran, perilaku,
mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat.
2.
Menurut
Hilany M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex and Gender, an Introduction
mengatakan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan
perempuan. Pendapat ini sejalan dengan pendapat umumnya kaum feminis seperti
Linda L. Lindsey, yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan
seseorang sebagai laki-Iaki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender.
3.
Menurut
HT. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar
untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-Iaki dan perempuan pada kebudayaan
dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan
perempuan.
4.
Elaine
Showalter mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan
dilihat dari konstruksi sosial budaya. Ia menekankannya sebagai konsep analisis
yang dapat digunakan untuk menunjukkan sesuatu[1].
Dari berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa gender
adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki
dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Gender dalam arti ini
mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non biologis. Oleh karena
itu, terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya
dibentuk, disosialiasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial dan
kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara.
B.
Gender dan al-Qur'an
Al-Qur'an memberikan pandangan optimistis terhadap kedudukan dan
keberadaan perempuan. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan
pasangannya, sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan
menggunakan kata ganti untuk dua orang serta ukuran kemuliaan di sisi Tuhan
adalah prestasi dan kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin.
Al-Qur'an tidak menganut faham yang memberikan keutamaan kepada
jenis kelamin tertentu atau mengistimewakan suku tertentu. Pria dan wanita
dan suku bangsa manapun mempunyai potensi yang sama untuk menjadi seorang ahli
ibadah dan khalifah.
Sosok ideal perempuan muslimah digambarkan sebagai kaum yang
memiliki tiga kemandirian, yaitu :
1.
Kemandirian
politik, seperti sosok Ratu Balqis yang mempunyai kerajaan superpower. (Q. S.
al-Mumtahanah/60:12)
2.
Kemandirian
ekonomi seperti pemandangan yang disaksikan Nabi Musa di Madyan, dua wanita
mengelola peternakan. (Q. S. al-Nahl/16:97 dan al-Qashash/28:23)
3.
Kemandirian
di dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi yang diyakini kebenarannya,
sekalipun harus berhadapan dengan suami bagi wanita yang sudah kawin atau
menentang pendapat orang banyak bagi perempuan yang belum kawin[2].
(Q. S. al-Tahrîm/66:11-12)
Disisi lain Al-Qur'an mengizinkan kaum perempuan untuk melakukan
gerakan oposisi terhadap berbagai kebobrokan dan menyampaikan kebenaran bahkan
al-Qur'an menyerukan perang terhadap suatu negeri yang menindas kaum perempuan
C.
Gender dan Indonesia
Negara telah melakukan beberapa upaya untuk menghapuskan diskriminasi
terhadap perempuan yang dikukuhkan lewat peraturan Undang-Undang, yaitu :
1.
Tahun
1984 pemerintah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
2.
Tahun
1999 Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia.
3.
Tahun
2000, Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000
tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional[3].
4.
Kebijakan
Nasional menyangkut pendidikan Pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional[4].
Peraturan-peraturan di atas,
sebagai landasan hukum untuk menegakkan hak-hak perempuan dan laki-laki atas
kesempatan yang sama, pengakuan yang sama, dan penghargaan yang sama dalam
pembangunan, berbangsa, dan bernegara.
D.
Gender dan Pendidikan
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menyebutkan bahwa kesempatan mendapakan pendidikan pada setiap satuan
pendidikan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial,
tingkat kemampuan ekonomi siswa dan tetap mengindahkan kekhususan satuan
pendidikan.
Sektor pendidikan merupakan sektor utama yang dapat meningkatkan
derajat perempuan di mata dunia, namun mirisnya gejala kesenjangan gender di
bidang pendidikan jauh dari kata baik. Kesenjangan terjadi antara laki-laki dan
perempuan dalam mengakses lembaga-lembaga pendidikan, sekolah, atau lembaga
pendidikan luar sekolah.
Kesenjangan pada sektor pendidikan telah menjadi faktor utama yang
paling berpengaruh terhadap kesenjangan gender secara menyeluruh. Atas dasar
hal tersebut, rendahnya kualitas pendidikan diakibatkan oleh adanya
diskriminasi gender dalam dunia pendidikan[5].
Pendidikan dalam kesetaraan gender merupakan perpaduan antara
pendidikan dan gender. Pendidikan dalam kesetaraan gender dapat diwujudkan
setidaknya memenuhi tiga hal, yaitu :
1.
Guru
Guru
harus berperspektif gender, karena ia adalah ujung tombak pendidikan. Percuma
bicara kesetaraan dalam pendidikan atau mengubah buku-buku bacaan bila gurunya
tidak mendukung.
2.
Buku-buku
Bacaan
Buku-buku
bacaan yang masih gender perlu diubah. Ini berkaitan dengan peran guru juga,
karena kalau ternyata guru sudah bagus perspektif gendernya, tetapi buku-bukunya
belum mendukung, maka transformasi nilai-nilai yang berperspektif pada
kesetaraan dan keadilan gender masih belum bisa berhasil maksimal.
3.
Siswa
Siswa
laki-laki maupun perempuan dibimbing guru untuk memahami hak dan kewajibannya
sebagai laki-laki maupun perempuan serta
menghargai perbedaan dirinya dan teman sebayanya[6].
Peran guru sangat strategis dalam setiap proses pendidikan. Itu sebabnya
dalam proses pendidikan guru hendaknya menciptakan lingkungan belajar yang
bebas dan aktif tanpa diskriminasi gender, sehingga pendidikan sebagai proses
transformasi dan pembebasan terutama relasi yang tidak demokratis dan
diskriminatif di dalam dunia pendidikan dapat diwujudkan. Dengan demikian
diperlukan suatu usaha kolaborasi antara guru dan peserta didik untuk secara
bersama-sama melakukan transformasi relasi mereka[7].
Selanjutnya perlu dilakukan upaya dalam pendidikan dengan
memberikan pemahaman dan ruang diskusi gender di kelas agar peserta didik mampu
melihat isu-isu gender dengan bijak dan dapat mengambil keputusan dengan tepat dalam
menyikapi isu tersebut. Sehingga, tercipta lingkungan pendidikan yang memiliki
nilai-nilai persamaan hak, kerjasama, partispasi, keadilan, kesetaraan,
kemajemukan dan prinsip demokrasi antara laki-laki dan perempuan.
E.
Diskriminasi Gender di Sekolah
Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak
adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, sehingga semua memiliki
akses, kesempatan berpartisipasi yang sama termasuk dalam bidang pendidikan.
Secara historis telah terjadi dominasi laki-laki dalam segala lapisan
masyarakat di sepanjang zaman, dimana perempuan dianggap lebih rendah daripada
laki-laki. Dari sinilah timbul doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki.
Ketidaksetaraan ini cenderung bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Ketidaksetaraan tersebut antara lain sebagai berikut[8]:
1.
Marginalisasi
terhadap Perempuan
Marginalisasi
berarti menempatkan atau mengeser perempuan ke pinggiran. Terkait dengan
Pendidikan, marginalisasi terhadap perempuan ini dapat berupa banyaknya orang
tua yang lebih memilih menyekolahkan anak laki-laki dibandingkan dengan anak
perempuan dengan berbagai macam alasan yang melatarbelakangi. Misalnya: orang
tua enggan menyekolahkan anak perempuan di tempat yang jauh, anggapan sebagian
masyarakat bahwa pendidikan bagi anak perempuan kurang penting.
2.
Stereotip
Masyarakat terhadap Perempuan
Pendidikan
yang bias gender menimbulkan stereotip peran perempuan dan laki-laki yang
umumnya kurang menguntungkan perempuan. Misalnya: perempuan adalah calon ibu rumah
tangga yang tugasnya melakukan segala pekerjaan terkait rumah tangga seperti
memasak, mencuci, dll. Perempuan bukan pencari nafkah utama, sehingga tidak
memerlukan pendidikan terlalu tinggi.
Stereotip gender yang mengakar dalam budaya masyarakat pada akhirnya
membuat para wanita harus mengubur impiannya. Tak heran bila jumlah wanita yang
melangkah maju di dunia pendidikan masih minim.
3.
Subordinasi
terhadap Perempuan
Pandangan
gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa
perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil
memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang
tidak penting. Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam
bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu[9].
4.
Beban
Ganda terhadap Perempuan
Beban
ganda perempuan adalah tugas rangkap yang dijalani oleh seorang perempuan
(lebih dari satu peran) yakni sebagai ibu rumah tangga, sebagai orang tua anak,
sebagai istri dari suami dan peran sebagai pekerja yang mencari nafkah membantu
suaminya dalam bidang ekonomi keluarga. Peran ganda sebagai pekerja maupun ibu
rumah tangga mengakibatkan tuntutan yang lebih dari biasanya terhadap
perempuan, karena terkadang para perempuan menghabiskan waktu tiga kali lipat
dalam mengurus rumah tangga dibandingkan dengan pasangannya yang bekerja pula.
Penyeimbangan tanggung jawab ini cenderung lebih memberikan tekanan hidup bagi
perempuan bekerja karena selain menghabiskan banyak waktu dan energi,
tanggungjawab ini memiliki tingkat kesulitan pengelolaan yang tinggi. Akibatnya
perempuan tidak memiliki waktu lagi untuk membicarakan hal-hal di luar
rutinitasnya seperti menggali informasi, mencari ilmu baru atau melanjutkan
studi.
5.
Kekerasan
Kekerasan
(violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang
dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga,
masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Peran gender telah
membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminis dan
laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis,
seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya
perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada
yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut
melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu
diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan
kekerasan[10].
F.
Pengaruh Diskriminasi Gender pada Siswa
1.
Aktivitas
Visual Siswa
Hasil
penelitian Eisestein menyatakan, “Competitive merupakan kecenderungan
yang dimiliki laki-laki atau dikategorikan sebagai instrumental traits,
sementara affectionate merupakan kecenderungan yang dimiliki oleh
perempuan”. Dari penjelasan ini, menunjukkan bahwa baik siswa laki-laki maupun
perempuan memiliki kemampuan yang sama dalam hal perencanaan (planning)
saat akan mendemonstrasikan fenomena-fenomena sosial.
2.
Aktivitas
Oral Siswa
Hasil
perhitungan pada point aktivitas oral menunjukkan tidak terdapat pengaruh yang
signifikan antara gender dan aktivitas oral siswa dan hasil penelitian
Eisenstein menyebutkan bahwa, “agressif dan curious (rasa ingin
tahu) merupakan karakteristik yang merupakan kecenderungan dari laki-laki dan
tergolong kedalam instrumental traits”.
Namun,
setelah dilakukan tes kepada siswa, didapatkan hasil bahwa siswa laki-laki
maupun perempuan memiliki rata-rata persentase yang tidak jauh berbeda pada
sikap tidak setuju dalam hal agresif ketika proses tanya jawab dan rasa ingin
tahu yang tinggi saat proses tanya jawab
saat pelajaran berlangsung.
3.
Aktivitas
Mendengarkan Siswa
Berdasarkan
penelitian Eisenstein menyatakan bahwa, “Tenacious (mengingat) merupakan
karakteristik yang menjadi kecenderungan bagi laki-laki dan Kind (senang
hati) merupakan kecenderungan perempuan yang tergolong kedalam ekspressif
traits”. Oleh karena itu kategori tenacious (mengingat) tidak hanya
merupakan kecenderungan siswa laki-laki, melainkan juga siswa perempuan.
4.
Aktivitas
Gerak Siswa
Dalam
aktivitas gerak, siswa laki-laki maupun
perempuan memiliki persamaan tingkat keaktifan saat proses pembelajaran
berlangsung, ini berdasarkan perhitungan dan bertentangan penelitian Eisenstein
yang menyatakan, ceria (Cheerful) merupakan kacenderungan yang dimiliki
oleh perempuan.
5.
Aktivitas
Menulis Siswa
Berdasarkan
perhitungan tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam aktifitas menulis
antara siswa laki-laki dan perempuan, tetapi ini bertentangan dengan teori
Eisenstein yang menyatakan, keaslian (Original) merupakan karakteristik
yang menjadi kecenderungan laki-laki.
6.
Aktivitas
Belajar Siswa
Berdasarkan
analisis rata-rata nilai probabiltas dari lima aktifitas belajar siswa, visual,
oral, mendengarkan, gerak, dan menulis lebih besar dari rata-rata nilai. Hasil
tersebut berarti bahwa tidak terdapat pengaruh antara gender terhadap keaktifan
belajar siswa. Tidak adanya pengaruh gender terhadap keaktifan belajar siswa
bertentangan dengan hasil penelitian Eisenstein yang menyatakan laki-laki
seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang ia kategorikan sebagai
instrumental traits. Sementara perempuan sering diasosiasikan dengan karakteristik-karakteristik
yang tergolong kedalam expressive traits[11].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Gender
adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan lak-laki
dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Gender dalam arti ini
mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non biologis.
2.
Al-Qur'an
memberikan pandangan optimistis terhadap kedudukan dan keberadaan perempuan dan
ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas tanpa membedakan
etnik dan jenis kelamin.
3.
Negara
Indonesia membuat sebuah peraturan dalam Undang-Undang sebagai landasan hukum
untuk menegakkan hak-hak perempuan dan laki-laki atas kesempatan yang sama,
pengakuan yang sama, dan penghargaan yang sama dalam pembangunan, berbangsa,
dan bernegara.
4.
UU No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kesempatan
mendapakan pendidikan pada setiap satuan pendidikan tidak membedakan jenis
kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial, tingkat kemampuan ekonomi siswa
dan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan. perlu dilakukan upaya
dalam pendidikan dengan memberikan pemahaman dan ruang diskusi gender di kelas
agar tercipta lingkungan pendidikan yang memiliki nilai-nilai persamaan hak,
kerjasama, partispasi, keadilan, kesetaraan, kemajemukan dan prinsip demokrasi
antara laki-laki dan perempuan.
5.
Ketidaksetaraan
Gender cenderung bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Ketidaksetaraan tersebut terjadi pada Marginalisasi terhadap Perempuan, Stereotip
Masyarakat terhadap Perempuan, Subordinasi terhadap Perempuan, Beban Ganda
terhadap Perempuan dan Kekerasan.
6.
Diskriminasi
Gender dapat memberikan dampak pada pengalaman sekolah siswa di bidang Aktivitas
Visual, Aktivitas Oral, Aktivitas Mendengarkan, Aktivitas Gerak Siswa, Aktivitas
Menulis dan Aktivitas Belajar.
B.
Saran
Demikian
makalah ini ditulis, apabila ada kesalahan yang terdapat dalam makalah ini,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Santoso
Kristeva, Nur Sayyid. 2016. Pesantren Pergerakan Materi Kaderisasi. Jawa Tengah:
Al Madaniyah As Salafiyah.
Efendi, Rustan.
2014. Kesetaraan Gender dalam Pendidikan. Jurnal Al-Maiyyah Vol. 07.
BaKTI, Yayasan.
2020. Perempuan, Masyarakat patriarki
dan Kesetaraan Gender. Makassar: Yayasan BaKTI.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Masruri, Kharis,
Muhammad. Pengaruh Gender Terhadap Keaktifan Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran
Sosiologi di SMA. Jurnal Pendidikan Sosiologi FKIP Untan.
Utami, Sri dan Erna,
Non. 2020. Hubungan Gender Terhadap Prestasi Belajar Siswa. Seminar
Nasional Pendidikan FKIP UNMA.
Aryanti, Putri,
Arista. 2023. Diskriminasi Terhadap Perempuan Dalam Bidang Pendidikan. Seminar
Nasional dan Call For Paper Hubisintek.
[1] Nur
Sayyid Santoso Kristeva, Pesantren Pergerakan Materi Kaderisasi,(Jawa
Tengah : Al Madaniyah As Salafiyah, 2016), hal. 181-182.
[2]
Rustan Efendi, “Kesetaraan Gender
dalam Pendidikan”, Jurnal Al-Maiyyah, Vol. 07 No.2 (Juli-Desember 2014),
hal. 144.
[3]
Yayasan BaKTI, Perempuan, Masyarakat patriarki dan Kesetaraan Gender, (Makassar
: Yayasan BaKTI, 2020), hal. 5.
[4] Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[5] M.
Kharis Masruri,” Pengaruh Gender Terhadap Keaktifan Belajar Siswa Pada Mata
Pelajaran Sosiologi di SMA” Jurnal Pendidikan Sosiologi”, FKIP
Untan, hal. 2
[6]
Non
Erna Sri Utami, “Hubungan Gender Terhadap Prestasi Belajar Siswa”, Seminar
Nasional Pendidikan, FKIP UNMA, Agustus 2020, hal. 145.
[7]
Nur
Sayyid Santoso Kristeva, Pesantren Pergerakan Materi Kaderisasi, . . . hal.
211.
[8]
Arista Putri Aryanti, “Diskriminasi Terhadap Perempuan Dalam Bidang
Pendidikan”, Seminar Nasional dan Call For Paper Hubisintek, 2023, hal. 459.
[9]
Nur
Sayyid Santoso Kristeva, Pesantren Pergerakan Materi Kaderisasi, . . . hal.
183.
[10]
Arista
Putri Aryanti, “Diskriminasi Terhadap Perempuan Dalam Bidang Pendidikan”,
Seminar Nasional dan Call For Paper
Hubisintek, 2023, hal. 460.
[11]
M.
Kharis Masruri,” Pengaruh Gender Terhadap Keaktifan Belajar Siswa Pada Mata
Pelajaran Sosiologi di SMA” Jurnal Pendidikan Sosiologi, FKIP
Untan, hal. 9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar