Total Tayangan Halaman

Rabu, 20 September 2023

PENGARUH GENDER DAN KETIDAK ADILAN GENDER TERHADAP PENGALAMAN SEKOLAH SISWA

 Oleh : Muhammad Ya'kub Harahap

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Diskriminasi terhadap perempuan merupakan masalah yang kerapkali terjadi di hampir seluruh lapisan kelompok masyarakat, bahkan di sebagian besar belahan dunia sekalipun. Alasannya cukup jelas masyarakat belum mampu melepaskan diri dari budaya patriarki yang selama ribuan tahun menjerat dan memaksa perempuan berada di bawah kekuasaan pria. Bukan tanpa sebab bila pendidikan sangat penting bagi perempuan, karena perempuan memiliki peran sangat penting dalam peningkatan kualitas generasi muda.

Dalam Islam disebutkan Ibu adalah madrasah bagi anak-anaknya. Dengan demikian diperlukan kesadaran adanya peningkatan kualitas pendidikan bagi seorang ibu, mengingat tanggung jawab dan perannya sebagai pendidik pertama dan utama. Sudah menjadi suratan bahwa perempuanlah yang melahirkan anak, membesarkan generasi bangsa yang secara alamiah ia memiliki hubungan emosional yang paling dekat dengan anak. Sesuai dengan harkat, martabat, dan kodratnya, kaum perempuan mempunyai peran dalam membentuk, menentukan, dan memberi warna terhadap kualitas generasi bangsa.

Namun praktis, ruang gerak perempuan dibatasi karena perspektif yang kurang adil dalam mendudukkannya sebagaimana mestinya termasuk dalam hal pendidikan. Dalam tulisan ini, penulis akan menguraikan tentang pengertian gender dan gender dalam Al-Qur’an, di Indonesia dan di sekolah.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah Gender itu?

2.      Bagaimana Gender dalam Al-Qur’an, di Indonesia dan di Sekolah?

3.      Apa Manfaat Kesetaraan Gender di Sekolah?

C.    Tujuan Penulisan

1.      Memahami Gender

2.      Memahamai penerapan gender dalam Al-Qur’an, di Indonesia dan di Sekolah

3.      mewujudkan kesetaraan gender di sekolah

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Perspektif Gender

Istilah "Gender" berasal dari bahasa Inggris "gender" berarti jenis kelamin, dan gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.

Sedangkan menurut Istilah Gender diartikan sebagai berikut :

1.      Di dalam Women Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membut pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

2.      Menurut Hilany M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex and Gender, an Introduction mengatakan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Pendapat ini sejalan dengan pendapat umumnya kaum feminis seperti Linda L. Lindsey, yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-Iaki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender.

3.      Menurut HT. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-Iaki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.

4.      Elaine Showalter mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya. Ia menekankannya sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menunjukkan sesuatu[1].

Dari berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Gender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non biologis. Oleh karena itu, terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialiasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara.

B.     Gender dan al-Qur'an

Al-Qur'an memberikan pandangan optimistis terhadap kedudukan dan keberadaan perempuan. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan pasangannya, sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang serta ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin.

Al-Qur'an tidak menganut faham yang memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu atau  mengistimewakan suku tertentu. Pria dan wanita dan suku bangsa manapun mempunyai potensi yang sama untuk menjadi seorang ahli ibadah dan khalifah.

Sosok ideal perempuan muslimah digambarkan sebagai kaum yang memiliki tiga kemandirian, yaitu :

1.      Kemandirian politik, seperti sosok Ratu Balqis yang mempunyai kerajaan superpower. (Q. S. al-Mumtahanah/60:12)

2.      Kemandirian ekonomi seperti pemandangan yang disaksikan Nabi Musa di Madyan, dua wanita mengelola peternakan. (Q. S. al-Nahl/16:97 dan al-Qashash/28:23)

3.      Kemandirian di dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi yang diyakini kebenarannya, sekalipun harus berhadapan dengan suami bagi wanita yang sudah kawin atau menentang pendapat orang banyak bagi perempuan yang belum kawin[2]. (Q. S. al-Tahrîm/66:11-12)

Disisi lain Al-Qur'an mengizinkan kaum perempuan untuk melakukan gerakan oposisi terhadap berbagai kebobrokan dan menyampaikan kebenaran bahkan al-Qur'an menyerukan perang terhadap suatu negeri yang menindas kaum perempuan

C.    Gender dan Indonesia

Negara telah melakukan beberapa upaya untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan yang dikukuhkan lewat peraturan Undang-Undang, yaitu :

1.      Tahun 1984 pemerintah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.

2.      Tahun 1999 Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

3.      Tahun 2000, Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional[3].

4.      Kebijakan Nasional menyangkut pendidikan Pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional[4].

 Peraturan-peraturan di atas, sebagai landasan hukum untuk menegakkan hak-hak perempuan dan laki-laki atas kesempatan yang sama, pengakuan yang sama, dan penghargaan yang sama dalam pembangunan, berbangsa, dan bernegara.

D.    Gender dan Pendidikan

Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kesempatan mendapakan pendidikan pada setiap satuan pendidikan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial, tingkat kemampuan ekonomi siswa dan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan.

Sektor pendidikan merupakan sektor utama yang dapat meningkatkan derajat perempuan di mata dunia, namun mirisnya gejala kesenjangan gender di bidang pendidikan jauh dari kata baik. Kesenjangan terjadi antara laki-laki dan perempuan dalam mengakses lembaga-lembaga pendidikan, sekolah, atau lembaga pendidikan luar sekolah.

Kesenjangan pada sektor pendidikan telah menjadi faktor utama yang paling berpengaruh terhadap kesenjangan gender secara menyeluruh. Atas dasar hal tersebut, rendahnya kualitas pendidikan diakibatkan oleh adanya diskriminasi gender dalam dunia pendidikan[5].

Pendidikan dalam kesetaraan gender merupakan perpaduan antara pendidikan dan gender. Pendidikan dalam kesetaraan gender dapat diwujudkan setidaknya memenuhi tiga hal, yaitu :

1.      Guru

Guru harus berperspektif gender, karena ia adalah ujung tombak pendidikan. Percuma bicara kesetaraan dalam pendidikan atau mengubah buku-buku bacaan bila gurunya tidak mendukung.

2.      Buku-buku Bacaan

Buku-buku bacaan yang masih gender perlu diubah. Ini berkaitan dengan peran guru juga, karena kalau ternyata guru sudah bagus perspektif gendernya, tetapi buku-bukunya belum mendukung, maka transformasi nilai-nilai yang berperspektif pada kesetaraan dan keadilan gender masih belum bisa berhasil maksimal.

3.      Siswa

Siswa laki-laki maupun perempuan dibimbing guru untuk memahami hak dan kewajibannya sebagai laki-laki maupun perempuan serta  menghargai perbedaan dirinya dan teman sebayanya[6].

Peran guru sangat strategis dalam setiap proses pendidikan. Itu sebabnya dalam proses pendidikan guru hendaknya menciptakan lingkungan belajar yang bebas dan aktif tanpa diskriminasi gender, sehingga pendidikan sebagai proses transformasi dan pembebasan terutama relasi yang tidak demokratis dan diskriminatif di dalam dunia pendidikan dapat diwujudkan. Dengan demikian diperlukan suatu usaha kolaborasi antara guru dan peserta didik untuk secara bersama-sama melakukan transformasi relasi mereka[7].

Selanjutnya perlu dilakukan upaya dalam pendidikan dengan memberikan pemahaman dan ruang diskusi gender di kelas agar peserta didik mampu melihat isu-isu gender dengan bijak dan dapat mengambil keputusan dengan tepat dalam menyikapi isu tersebut. Sehingga, tercipta lingkungan pendidikan yang memiliki nilai-nilai persamaan hak, kerjasama, partispasi, keadilan, kesetaraan, kemajemukan dan prinsip demokrasi antara laki-laki dan perempuan.

E.     Diskriminasi Gender di Sekolah

Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, sehingga semua memiliki akses, kesempatan berpartisipasi yang sama termasuk dalam bidang pendidikan. Secara historis telah terjadi dominasi laki-laki dalam segala lapisan masyarakat di sepanjang zaman, dimana perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Dari sinilah timbul doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki. Ketidaksetaraan ini cenderung bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Ketidaksetaraan tersebut antara lain sebagai berikut[8]:

1.      Marginalisasi terhadap Perempuan

Marginalisasi berarti menempatkan atau mengeser perempuan ke pinggiran. Terkait dengan Pendidikan, marginalisasi terhadap perempuan ini dapat berupa banyaknya orang tua yang lebih memilih menyekolahkan anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan dengan berbagai macam alasan yang melatarbelakangi. Misalnya: orang tua enggan menyekolahkan anak perempuan di tempat yang jauh, anggapan sebagian masyarakat bahwa pendidikan bagi anak perempuan kurang penting.

2.      Stereotip Masyarakat terhadap Perempuan

Pendidikan yang bias gender menimbulkan stereotip peran perempuan dan laki-laki yang umumnya kurang menguntungkan perempuan. Misalnya: perempuan adalah calon ibu rumah tangga yang tugasnya melakukan segala pekerjaan terkait rumah tangga seperti memasak, mencuci, dll. Perempuan bukan pencari nafkah utama, sehingga tidak memerlukan pendidikan terlalu tinggi.  Stereotip gender yang mengakar dalam budaya masyarakat pada akhirnya membuat para wanita harus mengubur impiannya. Tak heran bila jumlah wanita yang melangkah maju di dunia pendidikan masih minim.

3.      Subordinasi terhadap Perempuan

Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu[9].

4.      Beban Ganda terhadap Perempuan

Beban ganda perempuan adalah tugas rangkap yang dijalani oleh seorang perempuan (lebih dari satu peran) yakni sebagai ibu rumah tangga, sebagai orang tua anak, sebagai istri dari suami dan peran sebagai pekerja yang mencari nafkah membantu suaminya dalam bidang ekonomi keluarga. Peran ganda sebagai pekerja maupun ibu rumah tangga mengakibatkan tuntutan yang lebih dari biasanya terhadap perempuan, karena terkadang para perempuan menghabiskan waktu tiga kali lipat dalam mengurus rumah tangga dibandingkan dengan pasangannya yang bekerja pula. Penyeimbangan tanggung jawab ini cenderung lebih memberikan tekanan hidup bagi perempuan bekerja karena selain menghabiskan banyak waktu dan energi, tanggungjawab ini memiliki tingkat kesulitan pengelolaan yang tinggi. Akibatnya perempuan tidak memiliki waktu lagi untuk membicarakan hal-hal di luar rutinitasnya seperti menggali informasi, mencari ilmu baru atau melanjutkan studi.

5.      Kekerasan

Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminis dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan[10].

F.     Pengaruh Diskriminasi Gender pada Siswa

1.      Aktivitas Visual Siswa

Hasil penelitian Eisestein menyatakan, “Competitive merupakan kecenderungan yang dimiliki laki-laki atau dikategorikan sebagai instrumental traits, sementara affectionate merupakan kecenderungan yang dimiliki oleh perempuan”. Dari penjelasan ini, menunjukkan bahwa baik siswa laki-laki maupun perempuan memiliki kemampuan yang sama dalam hal perencanaan (planning) saat akan mendemonstrasikan fenomena-fenomena sosial.

2.      Aktivitas Oral Siswa

Hasil perhitungan pada point aktivitas oral menunjukkan tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara gender dan aktivitas oral siswa dan hasil penelitian Eisenstein menyebutkan bahwa, “agressif dan curious (rasa ingin tahu) merupakan karakteristik yang merupakan kecenderungan dari laki-laki dan tergolong kedalam instrumental traits”.

Namun, setelah dilakukan tes kepada siswa, didapatkan hasil bahwa siswa laki-laki maupun perempuan memiliki rata-rata persentase yang tidak jauh berbeda pada sikap tidak setuju dalam hal agresif ketika proses tanya jawab dan rasa ingin tahu yang tinggi  saat proses tanya jawab saat pelajaran berlangsung.

3.      Aktivitas Mendengarkan Siswa

Berdasarkan penelitian Eisenstein menyatakan bahwa, “Tenacious (mengingat) merupakan karakteristik yang menjadi kecenderungan bagi laki-laki dan Kind (senang hati) merupakan kecenderungan perempuan yang tergolong kedalam ekspressif traits”. Oleh karena itu kategori tenacious (mengingat) tidak hanya merupakan kecenderungan siswa laki-laki, melainkan juga siswa perempuan.

4.      Aktivitas Gerak Siswa

Dalam aktivitas gerak,  siswa laki-laki maupun perempuan memiliki persamaan tingkat keaktifan saat proses pembelajaran berlangsung, ini berdasarkan perhitungan dan bertentangan penelitian Eisenstein yang menyatakan, ceria (Cheerful) merupakan kacenderungan yang dimiliki oleh perempuan.

5.      Aktivitas Menulis Siswa

Berdasarkan perhitungan tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam aktifitas menulis antara siswa laki-laki dan perempuan, tetapi ini bertentangan dengan teori Eisenstein yang menyatakan, keaslian (Original) merupakan karakteristik yang menjadi kecenderungan laki-laki.

6.      Aktivitas Belajar Siswa

Berdasarkan analisis rata-rata nilai probabiltas dari lima aktifitas belajar siswa, visual, oral, mendengarkan, gerak, dan menulis lebih besar dari rata-rata nilai. Hasil tersebut berarti bahwa tidak terdapat pengaruh antara gender terhadap keaktifan belajar siswa. Tidak adanya pengaruh gender terhadap keaktifan belajar siswa bertentangan dengan hasil penelitian Eisenstein yang menyatakan laki-laki seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang ia kategorikan sebagai instrumental traits. Sementara perempuan sering diasosiasikan dengan karakteristik-karakteristik yang tergolong kedalam expressive traits[11].


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan lak-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Gender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non biologis.

2.      Al-Qur'an memberikan pandangan optimistis terhadap kedudukan dan keberadaan perempuan dan ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin.

3.      Negara Indonesia membuat sebuah peraturan dalam Undang-Undang sebagai landasan hukum untuk menegakkan hak-hak perempuan dan laki-laki atas kesempatan yang sama, pengakuan yang sama, dan penghargaan yang sama dalam pembangunan, berbangsa, dan bernegara.

4.      UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kesempatan mendapakan pendidikan pada setiap satuan pendidikan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial, tingkat kemampuan ekonomi siswa dan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan. perlu dilakukan upaya dalam pendidikan dengan memberikan pemahaman dan ruang diskusi gender di kelas agar tercipta lingkungan pendidikan yang memiliki nilai-nilai persamaan hak, kerjasama, partispasi, keadilan, kesetaraan, kemajemukan dan prinsip demokrasi antara laki-laki dan perempuan.

5.      Ketidaksetaraan Gender cenderung bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Ketidaksetaraan tersebut terjadi pada Marginalisasi terhadap Perempuan, Stereotip Masyarakat terhadap Perempuan, Subordinasi terhadap Perempuan, Beban Ganda terhadap Perempuan dan Kekerasan.

6.      Diskriminasi Gender dapat memberikan dampak pada pengalaman sekolah siswa di bidang Aktivitas Visual, Aktivitas Oral, Aktivitas Mendengarkan, Aktivitas Gerak Siswa, Aktivitas Menulis dan Aktivitas Belajar.

B.     Saran

Demikian makalah ini ditulis, apabila ada kesalahan yang terdapat dalam makalah ini, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Santoso Kristeva, Nur Sayyid. 2016. Pesantren Pergerakan Materi Kaderisasi. Jawa Tengah: Al Madaniyah As Salafiyah.

Efendi, Rustan. 2014. Kesetaraan Gender dalam Pendidikan. Jurnal Al-Maiyyah Vol. 07.

BaKTI, Yayasan. 2020.  Perempuan, Masyarakat patriarki dan Kesetaraan Gender. Makassar: Yayasan BaKTI.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Masruri, Kharis, Muhammad. Pengaruh Gender Terhadap Keaktifan Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Sosiologi di SMA. Jurnal Pendidikan Sosiologi FKIP Untan.

Utami, Sri dan Erna, Non. 2020. Hubungan Gender Terhadap Prestasi Belajar Siswa. Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNMA.

Aryanti, Putri, Arista. 2023. Diskriminasi Terhadap Perempuan Dalam Bidang Pendidikan. Seminar Nasional dan Call For Paper  Hubisintek.



[1] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Pesantren Pergerakan Materi Kaderisasi,(Jawa Tengah : Al Madaniyah As Salafiyah, 2016), hal. 181-182.

[2] Rustan Efendi,  Kesetaraan Gender dalam Pendidikan”, Jurnal Al-Maiyyah, Vol. 07 No.2 (Juli-Desember 2014), hal. 144.

[3] Yayasan BaKTI, Perempuan, Masyarakat patriarki dan Kesetaraan Gender, (Makassar : Yayasan BaKTI, 2020), hal. 5.

[4] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

[5] M. Kharis Masruri,” Pengaruh Gender Terhadap Keaktifan Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Sosiologi di SMA” Jurnal Pendidikan Sosiologi”, FKIP Untan, hal. 2

[6] Non Erna Sri Utami, “Hubungan Gender Terhadap Prestasi Belajar Siswa”, Seminar Nasional Pendidikan, FKIP UNMA, Agustus 2020, hal. 145.

[7] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Pesantren Pergerakan Materi Kaderisasi, . . . hal. 211.

[8] Arista Putri Aryanti, “Diskriminasi Terhadap Perempuan Dalam Bidang Pendidikan”, Seminar Nasional dan Call For Paper  Hubisintek, 2023, hal. 459.

[9] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Pesantren Pergerakan Materi Kaderisasi, . . . hal. 183.

[10] Arista Putri Aryanti, “Diskriminasi Terhadap Perempuan Dalam Bidang Pendidikan”, Seminar Nasional dan Call For Paper  Hubisintek, 2023, hal. 460.

[11] M. Kharis Masruri,” Pengaruh Gender Terhadap Keaktifan Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Sosiologi di SMA” Jurnal Pendidikan Sosiologi, FKIP Untan, hal. 9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar