Total Tayangan Halaman

Selasa, 31 Oktober 2023

PENYUCIAN JIWA (تزكية النفس)

Oleh : H. Nurfin Sihotang, MA., Ph.D.

Editor : Muhammad Ya’kub Harahap

A. Pendahuluan

Jiwa manusia selain memiliki karakter yang baik, ternyata bisa juga terjerumus dalam sifat atau karakter yang jelek. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. Yang berbunyi :

 انّ في الجسد مضغة اذا صلحت صلح الجسد كله واذا فسدت فسد الجسد كله, الا وهي القلب  

Pertanyaanya bagaimana mensucikan jiwa yang kotor atau فسدت  tersebut. Inilah yang akan diuraikan dalam pembahasan berikut.

B. Dalil dan Pengertian

1. Al-Qur’an

قد أفلح من تزكّى. وذكر اسم ربه فصلّى. بل تؤثرون الحياة الدنيا. والأخرة خير وأبقى

Artinya : “sungguh beruntung orang yang membersihkan diri. Dan dia ingat nama tuhanya, lalu dia sembahyang. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal”. (Q.S. al-A’laa 14-17)

ونفس وما سواها. فألهمها فجورها وتقوىها. قد أفلح من زكّها. وقد خاب من دسّىها.

Artinya : “dan jiwa serta peyempurnaanya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaanya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan seseungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (Q.S. asy-Syams 7-10)

2. Hadits

انّ في الجسد مضغة اذا صلحت صلح الجسد كله واذا فسدت فسد الجسد كله, الا وهي القلب

Artinya : “sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal darah, jika dia bagus maka baguslah tubuh seluruhnya, dan jika dia rusak maka rusaklah tubuh seluruhnya, ketahuilah, dan dia itu adalah hati”.

Dari hadits dan ayat tersebut bahwa jiwa yang suci adalah menyebut nama tuhan, dalam ayat lain disebut فاذكروني أذكركم dan ayat فصلّ لربك وانحر yaitu menegakan shalat, serta ayat أقم الصلاة لذكري. Sedangkan jiwa kotor adalah بل تؤثرون الحياة الدني tamak dunia dan mengabaikan akhirat. Dalam surah an-Naazi’aat 37-39 disebut sebagai فأما من طغى. وءاثر الحياة الدنيا. فانّ الجحيم هي المأوى selain terpengaruh kehidupan dunia adalah كذّبت ثمود بطغوىها surah asy-Syams ayat 11. Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa jiwa yang suci harus ditumbuhkembangkan, sedangkan jiwa yang kotor harus disucikan.

C. Timbulnya Jiwa yang Kotor

الانسان – الجسمنية والروحنية – السمع والبصر والأفئدة

النفس - الجسمنية والروحنية – القلب الصليح والقلب الفسد 

عقل مشقفة – قول صدق – قلب سليم

Perbuatan dan perilaku manusia bertitik tolak dari kesadaran jiwa atau nafsunya, jika kesadaran jiwa tunduk pada ayat-ayat Allah, baik yang didengar atau yang dilihat, maka itulah yang turun kehatinya, sehingga mata hatinya menjadi صلح atau سليم dan nafsunya menjadi نفس المطمئنة dan ketika naik keakalnya, maka akalnya menjadi عقل مشقفة dan عقل مستقيم dan ketika diekspresikan dalam bentuk perkataan, maka perkataanya benar (قول الحق), dan ketika mau dilakukan dalam perbuatan, maka menjadi perbuatan terpuji dan bermanfaat.

Sebaliknya, jika kesadaran jiwa justru mengabaikan ayat-ayat Allah, baik yang terbaca atau terlihat atau dalam bahasa lain disebut mengabaikan perintah dan larangan Allah, maka demikian itu yang turun kehati menjadi hati yang فسدت atau مريض atau قشوة bahkan ختم. Nafsu inilah yang menjadi نفس الامارة dan نفس اللوامة, ketika naik keakal akan menjadi akal منحرف atau akal negative thinking atau ngakal-ngakali dan ketika hendak diungkapkan dalam bentuk perkataan bisa bohong dan munafiq, dan ketika ditampilkan dalam perbuatan, perbuatanya menyakiti orang lain dan dirinya sendiri.

D. Langkah-langkah Membersihkan Jiwa

Lang-langkah yang dapat digunakan dalam membersihkan jiwa ada sepuluh perkara, yaitu ;

1. Menguatkan keimanan dan rukun iman setelah mengamalkan rukun islam dan tampil ihsan.

2. Husnudzon atau prasangka baik

3. Qona’ah

4. Ikhlas

5. Istiqomah

6. Sabar

7. Tasamuh atau toleran

8. Ikhtiar

9. Suka berdo’a dan istighfar

10. Senantiasa bersyukur

E. Penutup

Saatnya membersihkan jiwa dan kesadaran jiwa, serta harus tunduk pada ayat-ayat kitab suci, konstitusi dan budaya sehingga menjadi hati yang قلب صلح, قلب وجل dan نفس المطمئنة serta bukan sebaliknya.


Selasa, 03 Oktober 2023

Goresan Tinta Hamba Galau

 محمد يعقوب هاراهف

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين, والصلاة والسلام علي رسول الله وعلي أله وأصحابه أجمعين

صلي الله علي محمد , صلي الله عليه وسلم

الي حضرة نبينا محمد وأله وأصحابه والتابعين وتابع التابعين باحسان الي يوم الدين , وحضرة العلماء العالمين والشهداء والصالحين وحضرة أبائنا وأمهتنا ومشايخنا أجمعين والمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأموات

شيء لله لنا ولهم الفاتحة . . .

Diambil dari Pelajaran Lembaga Ittihadul Muballighin Lirboyo Kediri, Gus Rum Ponpes an Nur Ngrukem dan Kitab Kuning berupa Ihya Ulumuddin, Al Azkar dan Shahih Bukhori.

A. Bulan Rabi’ul Awal, Keutamaan Peringatan Nabi atau Shalawat

Di Indonesia, bulan rabi’ul awal merupakan bulan peringatan maulid atau momen kelahiran nabi muhammad SAW. Peringatan Maulid ini merupakan salah satu bentuk wujud rasa syukur kepada Allah atas lahirnya nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah cerita yang disampaikan oleh Guru kami dan disebutkan dalam kitab al Barjanji, bahwa Abu Lahab yang kita ketahui bersama tidak masuk islam dan menghalangi dakwah nabi itu diringankan siksaanya di alam kubur pada setiap hari senin dikarenakan begitu bahagianya abu lahab atas kelahiran nabi. Bukti kebahagiaannya itu dengan memerdekaan seorang budak yang bernama Tsuwaibatul Aslamiyah yang memberikan kabar kepada abu lahab atas kelahiran nabi Muhammad. Maka, sudah sepatutnya bagi kita umat nabi muhammad untuk membanyakan bacaan shalawat kepadanya. Setidaknya shalawat Jibril, yang bunyinya :

صلي الله علي محمد , صلي الله عليه وسلم

Dalam Kitab Mukhtarul Hadis yaitu H.R. Imam Bukhory disebutkan bahwa seseorang (baik pendosa, wanita, laki-laki atau siapapun dia) yang bershalawat kepada nabi muhammad SAW sebanyak satu kali. Maka allah membalas pahala shalawatnya sebanyak sepuluh kali, allah hapuskan sepuluh kesalahanya dan Allah angkat derajatnya sepuluh tingkat.

Kemudian, Guru kami menyampaikan fadhilah bagi orang yang membaca shalawat ini sebanyak 100X akan allah memenuhi 100X hajatnya, 30X hajat dunia, 70X hajat Akhirat, dan harus dengan keyakainan yang kuat. Maka dari itu mulai sekarang mari kita membacakan shalawat kepada nabi sampai bershalawat ini menjadi kebiasan kita setiap hari. Di dalam kitab Al Azkar disebutkan bahwa nabi muhammad paling kenal / paling utama dengan umatnya yang paling banyak bershalawat kepadanya.

عن أبي هريرة أن رسول الله قال : أولى الناس بي يوم القيامة  أكثرهم  عليّ صلاة.

عن أبي هريرة أيضا أن رسول الله قال : ما من أحد يسلِّم عليّ الا ردّ الله عليّ روحي أردّ عليه السلام.

B. Sejarah Awal Mula Peringatan Maulud Nabi

Sultan Salahuddin al Ayyubi, seorang Raja dinasti bani ayyub pada tahun 1174-1193 M. yang berhasil merebut kembali masjidil aqsa dari kekuasaan orang-orang barat. Dia memiliki Gagasan yang cemerlang mempersatukan umat islam dengan mengadakan Maulid Nabi pada tanggal 12 Rabiul Awal dengan tujuan syiar agama islam. Tidak tanggung-tanggung, beliau mengadakan perlombaan penulisan riwayat hidup nabi muhammad beserta dengan pujian dan sanjungan kepada nabi.

Pemenang dari perlombaan penulisan riwayat hidup nabi itu bernama Syekh ja’far al barjanji dengan kitabnya yang berjudul “iqd al jawahir”, dan lebih kita kenal dengan nama maulid al barjanji, yang kita baca setiap peringatan maulid nabi muhammad SAW. Kitab al barjanji ini termasuk karya yang bisa disyairkan dan dinyanyikan, serta berisi kejadian-kejadian yang menceritakan kelahiran nabi sampai wafatnya dan juga berisi tentang sifat-sifat mulia yang dimilikinya.

Dimulai dari Sultan Salahuddin al Ayyubi inilah sampai menyebar ke Desa Siboru Angin acara peringatan nabi Muhammad SAW. Ini setiap bulan rabiul awal.

C. Fadhilah atau keutamaan Berwudhu dan Luasnya Rahmat Allah

Setiap kali kita berwudhu untuk melaksanakan shalat fardhu, wudhu kita dapat menghilangkan setiap dosa anggota tubuh kita. Membasuh wajah, hilang semua dosa mata, hidung dan mulut, membasuh tangan hilang semua dosa-dosa yang dilakukan tangan, begitu pula anggota tubuh yang lainya dan in shaa allah orang yang menjaga lima shalat wajib ini pasti masuk surga, semoga kita semua yang hadir dalam maulid nabi ini mampu menjaga shalat lima waktu, allahumma aamiin, allahumma aamiin, allahumma aamiin. Tapi ingat, Dosa-dosa yang dihilangkan hanyalah dosa-dosa kecil, sedangkan dosa-dosa besar bisa dihilangkan pula dengan cara sebagaimana yang diajarkan syari’at islam. Dalam Kitab al Azkar karya imam Nawawi ada sebuah hadis yang menjelaskan akan keutamaan wudhu :

من توضأ فقال أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شرسك له وأشهد أن محمد عبده ورسوله , فتحت له أبواب الجنة الثمانية يدخل من أيها شاء.

عن ابن عمر ان النبي قال من توضأ ثم قال أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شرسك له وأشهد أن محمد عبده ورسوله, قبل أن يتكلم, غفر له ما بين الوضوءين.

Perlu diketahui bersama Dosa-dosa besar itu ada lima, yaitu membunuh dan sejenisnya, berzina dan sejenisnya, minum khamar dan sejenisnya, mencuri dan sejenisnya, tidak mengkonsumsi obat-obatan dan sejenisnya. Sedangkan cara untuk menghilangkan dosa-dosa besar ini ialah dengan bertaubat nasuha.

Dalam kitab Ihya Ulumuddin Halaman 1375 ada Hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhori Muslim yaitu : 

عن أبي سعيد الخدري أن نبيّ الله قال : كان فيمن كان قبلكم رجل قتل تسعة وتسعين نفسا, فسأل عن أعلم أهل الارض, فدلّ علي راهب, فأتاه فقال : انه قتل تسعة وتسعين نفسا, فهل له من توبة ؟ قال : لا. فقتله فكمّل به مائة. ثم سأل عن أعلم أهل الارض, فدلّ علي رجل عالم, فقال : انه قتل مائة نفس, فهل له من توبة ؟ قال : نعم. ومن يحول بينه وبين التوبة, انطلق الي أرض كذا وكذا فانّ بها أناسا يعبدون الله, فاعبد اللهَ معهم ولا ترجع الي أرضك, فانه أرض سوء. فانطلق حتي اذا نصف الطريق اتاه الموت, فاختصمت فيه ملائكة الرحمة وملائكة العذاب. فقالت ملائكة الرحمة : جاء تائبا مقبلا بقلبه الي الله. وقالت ملائكة العذاب : انه لم يعمل خيرا قطّ. فأتاهم ملك في صورة ادميّ فجعلوه حكما بينهم فقال : قيسوا ما بين الأرضين, فالي أيتهما كان أدني فهو له. فقاسوا فوجدوه أدني الي الأرض التي أراد, فقبضته ملائكة الرحمة. وفي رواية : فكان الي القرية الصالحة أقرب منها بشبر فجعل من أهلها.

Ada hadis dalam kitab Shahih Bukhari nomor 1237 yang menegaskan bahwa orang yang memiliki dosa besar bisa masuk surga, yaitu:

عن أبي ذرّ قال : قال رسول الله أتاني ءات من ربّي, فأخبرني , او قال بشّرني , أنه من مات من أمتي لا يشرك بالله شيئا دخل الجنة. فقلتُ : وان زني وان سرق ؟ قال : وان زني وان سرق.

Dari hadis ini menunjukan begitu luasnya rahmat Allah, dan pelajaran bagi kita bersama agar menjaga hati kita dari berprasangka buruk terhadap orang lain sesama muslim, supaya hati kita bersih dan mendapatkan hati yang muthmainnah, sehingga selamat di dunia dan akhirat allahumma aamiin.

Dalam melaksanakan taubat nasuha perlu memahami dosa atau kesalahan yang kita perbuat itu apakah berhubungan dengan hak hamba dengan Allah atau hak manusia dengan manusia. Taubat dari dosa atau kesalahan yang berhubungan denga haknya Allah itu harus melakukan tigat perkara, yaitu :

1. Meninggalkan kemaksiatan pada waktu atau hari itu juga.

2. Menyesali perbuatan dosa-dosanya di hari-hari yang telah lewat.

3. Bertekad untuk tidak akan mengulanginya lagi di kemudian hari dan mengerjakan amal-amal perbuatan baik.

Sedangkan taubat dari dosa ataupun kesalahan yang berkaitan dengan hak manusia, maka harus melakukan empat perkara juga, yaitu :

1. Mengetahui dan menyadari bahaya besar dan macam-macam dosa atau kesalahan yang dilakukan dan kewajiban untuk segera melakukan taubat.

2. Menyesali dengan sangat setiap dosa ataupun keselahan yang telah dilakukannya.

3. Meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa atau kesalahanya dan bertekad untuk tidak melakukanya kembali sampai akhir hidupnya di dunia.

4. Mengganti atupun mengembalikan setiap dosa atau kesalahan yang berhubungan dengan harta maupun benda orang lain yang diambil, meminta keridhaan pemiliknya, dan memintakan kehalalanya. Seperti seseorang yang mencuri harta atau barang milik orang lain, maka wajib baginya untuk mengembalikan ataupun memberikan ganti sesuai dengan nilai barang yang diambilnya itu, meminta keridhaan pemiliknya atas penggunakan barang itu, dan meminta kehalalan dari pemilik dalam pemanfaatan barang tersebut.

Dalam suatu hadis disebutkan bahwa Allah begitu senang dan memberikan balasan yang begitu agung kepada hambanya yang mau bertaubat kepadanya, walaupun dosanya sebanyak pasir di gurun pasir, Allah tetap mengampuninya. Sebagaimana hadis yang berbunyi :

قال عليه الصلاة والسلام : التائب حبيب الله والتائب من الذنب كمن لا ذنب له, أخرجه ابن ماجه من حديث ابن مسعود.

D. Momen Maulid Nabi

Ada hadis diriwayatkan dalam kitab Hadis Jami’ Shaghir dan Jami’ Kabir bahwa pada hari kiamat nanti ketika semua manusia dikumpulkan, baik itu Nabi, Rasul, Wali, Muslim ataupun Non muslim. Para Nabi merasakan perasaaan yang sangat takut saat itu terjadi, apalagi kita orang biasa ini pasti lebih lebih takutnya. Digambarkan dalam al Qur’an akan hari tersebut dengan bunyi :

يوم يفرّ المرء من أبيه, وصاحبته وبنيه, لكل امرئ منهم يومئذ شأن يغنيه . 

semua manusia sibuk mengurusi urusannya masing-masing, sehingga seorang suami tidak ingat istrinya, begitu pula sebaliknya dan seorang ayah tidak ingat anaknya dan begitu pula anaknya.

Pada hari itu Allah memberikan keistimewaan kepada seluruh nabi dengan memberikan mereka mimbar masing-masing sebagai bentuk penghormatan. Seluruh nabi naik langsung ke atas mimbarnya masing-masing, sebab mereka merasa keadaan yang sangat menakutkan itu dengan adanya mimbar merupakan bantuan untuk mereka agar menyelamatkan dirinya masing-masing kecuali Nabi Muhammad SAW. Dan beliau bersabda, jika aku naik ke atas mimbar nanti tiba-tiba dimasukkan surga, sedangkan umatku belum masuk surga. Coba seandainya ada pemimpin seperti beliau. Subhanallah.

Kemudian Allah bertanya kepada Muhammad, kepada kamu tidak naik mimbar?. Nabi menjawab, saya khawatir sama umat saya ya allah. Kemudian Allah berfirman, apa yang kamu inginkan aku lakukan pada umatmu?, nabi menjawab, supaya hisabnya dipercepat ya allah. Tujuan penghisaban yang dipecepat itu agar umat nabi muhammad cepat-cepat masuk surga dengan tanpa penghisaban yang ketat dan hanya cukup dilihati saja dan diperbolehkan masuk surga, tidak seperti penghisaban KPK. Hehehe. Sehingga yang tersisa hanya umat yang dipastikan masuk surga. Kemudian Nabi memberikan Syafaatnya kepada sisa umatnya tersebut, khususnya apalagi umatnya yang sering bershalawat kepada nabi, bisa menyelamatkan ayahnya juga, sehingga sampai habis semua umatnya nabi muhammad masuk surga. Subhanallah.

E. Fadhilah Orang yang Adzan

ثلاثةٌ يعصِمهم الله تعالى من عذاب القبر, الشاهد, والمؤذن, والمتوفى يوم الجمعة وليلة الجمعة .

Ada tiga orang yang tidak mendapat siksa kubur, yaitu orang yang Mati Syahid, Tukang Adzan, dan orang yang mati pada hari jum’at atau malam jum’at.  Mati Syahid itu adalah orang yang mati membela agama allah, termasuk mati syahid yaitu orang yang mati tidur dalam keadaan berwudhu, meninggal karna melahirkan, meninggal karna sakit perut, meninggal karna membela harga dirinya, hartanya, keluarganya atau negaranya.

Tukang Adzan yang termasuk mati syahid ialah mu’adzin yang ikhlas menjalankan tugasnya tanpa meminta bayaran. Sunnahnya tukang adzan itu orang yang memiliki suara bagus dan indah, kalau ada yang bagus suaranya tapi ngak mau adzan maka silahkan yang suaranya pas-pasan pun adzan.

Yang ketiga jenis orang yang mati syahid ialah orang yang meninggal pada malam jum’at atau hari jum’atnya. Jenis ketiga ini kita semua tidak bisa mengusahakannya agar mati pada hari itu dan merupakan anugrah dari Allah, kalau seandainya diusahakan malah disebut bunuh diri. Hehe. “Beda lagi ceritanya itu.” Dalam pandangan islam malam hari itu lebih mulya daripada siang hari. Harapannya kita diberikan allah meninggal dalam keadaan islam dengan mengucapkan kalimat لا اله الا الله ومحمد رسول الله dan semoga juga mendapat rahmatnya allah diselamatkan dari siksa kubur. Allahumma aamiin.

Dari ketiga jenis mati syahid di atas, hanya dua yang bisa diusahan, sedangkan yang satu lagi itu adalah anugrah dari Allah. Contohnya orang yang mati syahid seperti tentara yang membela tanah air atau negaranya, tukang adzan yang ikhlas tanpa meminta imbalan upah akan adzannya.

F. Sya’ir – Sya’ir


هذه الدار دار الله  #  وفيها عباد الله  #  عمّرها يا ربّي #  بجاهك يا رسول الله

قرءاننا من معجزات المصطفى محمد    #   أجلها نفعا على أمته مسرمدا

طوبى لمن يحفظه دنيا وأخرى أبدا     #  وكيف لا اذا يموت جسمه لن يفسدا

إِلهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً      #  وَلاَ أَقْوَى عَلىَ النَّارِ الجَحِيْمِ

فَهَبْ ليِ تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبيِ   #   فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ العَظِيْم

ذُنُوْبيِ مِثْلُ أَعْدَادِ الرِّمَالِ      #   فَهَبْ ليِ تَوْبَةً يَاذاَالجَلاَلِ

وَعُمْرِي نَاقِصٌ فيِ كُلِّ يَوْمٍ   #   وَذَنْبيِ زَئِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِ

إِلهِي عَبْدُكَ العَاصِي أَتَاكَ    #    مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَاكَ

فَإِنْ تَغْفِرْ فَأَنْتَ لِذَا أَهْلٌ       #    فَإِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاكَ


G. Penutup

Semoga yang disampaikan ini dapat memberikan manfaat pada kita semua dan kita diberian taufiq-Nya untuk mampu mengamalkannya. Kata-kata maupun ucapan yang tidak berkenan di hati, baik salah penuturan ataupun penyebutannya, pertama saya mohon ampun kepada allah dan meminta maaf kepada semuanya.


أخير الكلام

والله الموافق الى أقوام الطريق

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


Rabu, 20 September 2023

PINJAM MEMINJAM DAN QIRADH

 Oleh : Muhammad Ya'kub Harahap

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Islam sebagai agama yang syamil wa mutakammil (menyeluruh dan sempurna) mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk hal-hal yang berhubungan dengan interaksi sosial dalam kehidupan antar sesama manusia. Salah satu bentuk interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari adalah kegiatan pinjam-meminjam (‘Ariyyah) dan kerjasama/bagi hasil (Qiradh).

Contoh diatas merupakan kegiatan yang sering dilakukan dalam keseharian hampir semua orang. Di saat setiap orang tidak selalu memiliki semua barang untuk memenuhi kebutuhannya, maka salah satu jalan keluarnya adalah dengan meminjamnya dari orang lain. Terkadang ada seseorang yang punya kemampuan untuk mengelola perdagangan namun tidak memiliki modal dan ada yang punya modal tapi tidak mampu berdagang.

Dalam tulisan ini akan dibahasa tentang ketentuan-ketentuan syariah yang berkaitan dengan kegiatan pinjam-meminjam (‘Ariyyah) dan Qiradh.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaiman penjelasan syari’ah tentang pinjam-meminjam (‘Ariyyah) ?

2.      Bagaimana penjelasan tentang Qiradh ?

C.    Tujuan Penulisan

1.      Memahami penjelasan tentang pinjam-meminjam (‘Ariyyah)

2.      Memahami penjelasan tentang Qiradh

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pinjam-Meminjam (‘Ariyyah)

1.      Pengertian

’Ariyyah itu berasal dari kata fi’il madhi ‘Ara yang artinya berjalan, atau bisa berasal dari masdar al i’tiwar yang artinya berganti-gantian[1]. Pemahaman dari yang kata pertama yaitu seseorang yang hendak meminjam berjalan mendatangi orang yang dipinjam. Sedangkan pemahaman dari kata kedua yaitu pinjam-meminjam dilakukan pada orang-orang yang berbeda dan secara berganti-gantian.

‘Ariyyah dalam istilah ilmu fiqh memiliki pengertian yang berbeda-beda. Menurut Ulama hanafiyyah dan malikiyyah ‘Ariyyah ialah menyerahkan kepemilikan manfaat suatu benda dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan[2]. Sedangkan menurut Ulama syafi’iyah, ‘Ariyah ialah seorang pemilik barang membolehkan menggunakan manfaat barang yang halal digunakan manfaatnya, barangnya tetap pada wujudnya dan dengan tanpa imbalan[3].

Dari kedua definisi di atas menghasilkan konsekuensi hukum yang berbeda. Hanafiyyah dan Malikiyyah menganggap bahwa ‘ariyah adalah penyerahan kepemilikan hak guna suatu benda dalam jangka waktu tertentu. Itu artinya, peminjam barang selama jangka waktu pinjaman berhak untuk meminjamkan atau menyewakan barang pinjamannya kepada pihak lain tanpa seizin pemilik barang. sebab dia dianggap memiliki hak guna barang tersebut. Sedangkan Syafi’iyah hanya sebatas memberi izin untuk menggunakan barang, bukan memiliki hak guna barang tersebut. Sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan atau menyewakan kepada pihak lain tanpa seizin dari pemilik barang.

2.      Dasar Hukum ‘Ariyah

a.       Al-Qur’an

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Artinya :tolong menolonglah kalian dalam perbuatan baik dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong pada perbuatan dosan dan permusuhan dan bertakwalah kalian kepada allah, sesungguhnya allah sangat pedih siksanya[4]”.(Q.S. al Maidah. 2)

Meminjamkan barang kepada seorang muslim yang sangat membutuhkan merupakan salah satu dari perbuatan baik yang dapat menumbuhkan persahabatan dan menguatkan persaudaraan. Demikian ini merupakan perbuatan yang terpuji, dan setiap perbuatan terpuji disyari’atkan oleh agama.

وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

Artinya : “mereka enggan untuk memberikan bantuan[5]. (Q.S. al Ma’un, 7)

Islam menganjurkan pemeluknya agar memberikan bantuannya pada setiap perbuatan-perbuatan baik dan melarang pemeluknya menghalangi maupun menghambat setiap perbuatan-perbuatan baik. Sedang kan meminjamkan barang pada saudara yang membutuhkan termasuk perbuatan baik.

b.      Hadis

عَن صَفوَانَ بِن أُمَيَّةَ رضي الله عنه "أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّي اللهُ عَلَيهِ وسَلَّمَ استَعَارَ مِنهُ دُرُوعًا يَومَ حُنَينٍ, فَقَالَ أَغَصبٌ يَا مُحَمَّدُ ؟ قال بَل عَاريَّةٌ مَضمُونَةٌ" رَوَاهُ أَبُو دَاوُودَ وَالنَّسَائِيُّ وأَحمَدُ.

Artinya : “diriwayatkan dari Safwan bin Umayyah R.A. bahwasanya nabi Muhammad meminjam baju perang darinya pada perang hunain, kemudia ia bertanya, apakah kamu menngambilnya dengan paksa wahai muhammad?, Nabi menjawab, akan tetapi ini adalah meminjam yang dijamin[6]”. (H.R. Abu Dawud, An Nasa’i dan Ahmad)

Dari hadis ini dipahami bahwa Rasulullah pernah meminjam baju perang salah satu sahabatnya ketika perang hunain dengan memberikan imbalan. Artinya, beliau mengembalikan barang pinjaman itu setelah selesai meminjam dan menambahi dengan imbalan.

عَن سَمُرَةَ بِن جُندَبٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ : عَلَي اليَدِّ مَا أَخَذَت حَتَّي تُؤَدِّيَهُ, رواه أحمد.

Artinya : “diriwayatkan dari sumarah bin Jundab, ia berkata, Rasulullah bersabda,  ditangan orang yang meminjam biaya yang digunakan sampai barangnya dikembalikan[7]. (H.R. Ahmad)

Dari hadis ini dipahami bahwa, biaya yang digunakan untuk keperluan barang yang sedang dipinjam itu ditanggung oleh yang meminjam sampai ia mengembalikannya pada pemilik barang.

عن يعلي بن أمية رضي الله عنه قال : قال لي رسول الله صلي الله عليه وسلم, اذا أتتك رسلي فأعطهم ثلاثين ذرعا, قلت يا رسول الله أعارية مضمونة أو عارية مؤداة, قال بل عارية مؤداة. رواه أحمد والنسائي وأبو داوود

Artinya : “diriwayatkan dari Ya’la bin Umayyah, ia berkata, Rasulullah SAW. Bersabda, apabila utusanku mendatangimu, maka berikan mereka tiga puluh baju perang. Saya bertanya, apakah pinjaman yang dijamin atau pinjaman yang dikembalikan?. Rasullah menjawab, itu pinjaman yang dikembalikan[8]”. (H.R. Ahmad, an Nasa’i dan Abu Dawud)

Dari hadis ini dipahami bahwa seseorang yang meminjam barang itu bisa mengembalikan barang pinjaman tanpa harus memberikan biaya atau imbalan meminjam.

3.      Rukun-Rukun Pinjam-Meminjam

Akad pinjam-meminjam (‘ariyah) memiliki empat rukun, yaitu orang yang meminjam, orang yang meminjamkan, barang pinjaman dan serah terima[9].

a.       Orang yang Meminjam

Orang yang meminjam barang pinjaman harus diketahui orangnya dan bijaksana dalam menggunakan barang pinjaman.

b.      Orang yang Meminjamkan

Orang yang meminjamkan barang pinjaman harus baligh, berakal, pemilik manfaat barang pinjaman, dan bukan orang yang dibatasi pada barang pinjaman karena kebodohannya, seperti anak kecil.

c.       Barang Pinjaman

Barang Pinjaman menjadi sah untuk dipinjamkan sebagai ‘ariyah, jika memenuhi tiga hal berikut:

1)      Barang yang dipinjamkan merupakan barang yang halal untuk dimanfaatkan dan tidak digunakan untuk tujuan yang diharamkan[10]. Seperti, meminjam pisau untuk menyembelih hewan curian atau meminam linggis untuk merusak pintu rumah orang lain.

2)      Barang pinjaman tersebut bisa diambil manfaatnya tanpa harus memusnahkan atau menghabiskannya[11]. Tidak sah disebut sebagai ‘ariyah jika yang dipinjamkan adalah barang yang habis pakai seperti makanan, sabun, lilin, rokok dan sebagainya.

3)      Barang Pinjaman tersebut diambil manfaatnya setelah meminjamnya pada waktu seketika itu juga atau digunakan belakangan apabila barang yang dipinjam itu hanya bisa digunakan manfaatnya di waktu berikutnya[12]. Contoh barang pinjaman yang digunakan pada waktu belakangan seperti kuda kecil yang bisa diambil manfaatnya setelah ia dewasa.

d.      Serah Terima

Serah terima barang pinjaman bisa menggunakan ucapan, isyarah atau perbuatan yang menunjukan pemberian izin manfaat barang pinjaman tanpa imbalan.

4.      Jenis Pinjam-Meminjam

Pinjam-meminjam memiliki dua macam kategori yaitu, akad pinjaman muthlak dan akad pinjaman muqayyad.

a.       Akad Pinjaman Muthlak

Akad pinjaman muthlak artinya seseorang meminjamkan barangnya tanpa dibatasi waktunya sama sekali dan boleh mengambil barang yang dipinjamkan  kapan saja dengan memperhatikan kondisi orang yang dipinjami.

b.      Akad Pinjaman Muqayyad

Akad pinjaman muqayyad artinya seseorang meminjamkan barangnya dibatasi dengan waktu tertentu dan aturan tertentu. Orang yang meminjamkan tidak boleh mengambil barangnya sebelum habis waktu yang ditentukan dan orang yang meminjam tidak boleh menggunakan barang pinjaman tidak sesuai dengan aturan yang ditentukan dan tidak boleh pula terlambat waktu mengembalikan kecuali ada kejadian yang tidak diinginkan[13].

5.      Hukum Pinjam-Meminjam

‘Ariyah atau pinjam-meminjam hukumnya memiliki empat macam tergantung pada kondisi yang menyertainya. Yaitu :

a.       Sunnah

Meminjamkan barang hukumnya sunnah jika orang yang meminjam merasakan manfaat dari barang pinjaman tersebut dan tidak menimbulkan mudarat bagi pemilik barang.

b.      Wajib

Meminjamkan barang hukumnya wajib jika orang yang meminjam benar-benar membutuhkan barang pinjaman tersebut untuk menjaga nyawanya atau menyembuhkan penyakitnya dan tidak menimbulkan mudarat bagi pemilik barang.

c.       Haram

Meminjamkan barang hukumnya haram jika orang yang meminjam menggunakan barang pinjaman tersebut untuk kemaksiatan atau hal yang dilarang agama[14].

d.      Makruh

Pinjam-meminjam barang hukumnya bisa menjadi makruh, jika berdampak pada hal yang makruh. Seperti meminjamkan hamba sahaya untuk bekerja kepada seorang kafir[15].

B.     Qiradh

Istilah Qiradh dikemukakan oleh Ulama Hijaz, Sedangkan Ulama’ Iraq, menyebutnya dengan istilah Mudharabah[16]. Walupun terjadi perbedaan istilah dikalangan Ulama Iraq dan Hijaz, keduanya tetap memeliki penjelasan dan pemaknaan yang sama.

1.      Pegertian

Lafazh Qiradh menurut bahasa adalah berasal dari lafazh Qardhu dengan makna Qat’u artinya memutus. Sedangkan menurut syara’ ialah satu akad penyerahan harta yang dilakukan oleh pemiliknya kepada seseorang supaya memperdagangkan harta tersebut dan keuntungannya dibagi berdua serta kerugianya ditanggung oleh pemilik harta[17].

Sedangkan menurut Ulama fiqh, Qiradh ialah akad diantara dua orang yang melakukan perjanjian, agar salah satunya memberikan harta miliknya kepada seseorang yang lain supaya diperdagangkan olehnya, dengan bagian keuntungan yang besar dan diketahui serta dengan syarat-syarat tertentu[18].

Dari pengertian di atas, bisa dipahami bahwa akad Qiradh kerjasama dalam perdagangan ataupun penjualan antara pemilik modal dan pekerjanya dengan kontrak perjanjian kerja dan bagian pasti bagi pekerja dari keuntungan yang dihasilkan. Bagian untuk pekerja bisa separuh atau sepertiga dari hasil perdagangan tersebut.

2.      Dasar Hukum Qiradh

a.       Al-Qur’an

لَيسَ عَليكُم جُنَاحٌ أَن تَبتَغُوا فَضلًا مِن رَّبِّكُم . . .

Artinya : “bukanlah suatu kesalahan bagi kalian jika mencari keutamaan atau karunia dari tuhan kalian”[19]. (Q.S. al-Baqarah. 198)

Dari ayat ini, bisa dipahami bahwa mencari karunia atau keutamaan dari tuhan itu ialah mencari keuntungan, baik melalui jual beli ataupun kontrak kerja (Qiradh).

b.      Hadis

عَن صُهَيبٍ رَضِيَ اللهُ عَنهُ أَنَ النَبِيَّ قَالَ, ثَلَاثٌ فِيهِنَّ البَرَكَةُ, البَيعُ اِلَي أَجَلٍ, وَالمُقَارَضَةُ, وَخَلطُ البُرِّ بِالشَعِيرِ لِلبَيتِ لَا لِلبَيعِ. رواه ابن ماجه.

Artinya : “diriwayatkan dari Shuhaib R.A. bahwasanya Nabi pernah berkata, ada tiga hal yang didalamnya ada keberkahan, yaitu berjual pada waktunya, dan kerja sama (bagi hasil.pen.), dan mencampur beras bagus dengan beras jelek untuk keperluan rumah, bukan untuk berjualan”[20].(H.R. Ibn Majah)

 Dari hadis ini, dapat dipahami bahwa akad kerjasama atau bagi hasil (Qiradh) merupakan kesunnahan yang memiliki keberkahan dan pernah dilakukan oleh Rasulullah dengan Siti Khodijah sebelum keduanya menikah. Pada waktu itu Rasullah membawa harta siti khodijah ke negara Syam untuk diperdagangkan.

عن حكيم بن حزام رضي الله عنه أنه كان يشترط علي الرجل اذا أعطاه مالا مقارضة أن لا تجعل مالي في كبد رطبة ولا تحمله في بحر, ولا تنزل به في بطن مسيل, فان فعلت شيئا من ذلك فقد ضمنت مالي. رواه الدارقطني.

Artinya : “diriwayatkan dari Hakim bin Hizam R.A. bahwasanya Dia mensyaratkan kepada seorang laki-laki yang diberikan hartanya agar tidak menggunakan hartaku membeli hewan hidup, tidak membawanya ke laut, dan tidak meletakkanya ditempat air mengalir”. (H.R. ad Daruquthni)

Dari hadis ini, dapat dipahami bahwa akad Qiradh bisa dilakukan dengan menentukan syarat-syarat yang berkaitan dengan kemaslahatan bersama.

3.      Syarat dan Rukun Qiradh

Syarat Qiradh adalah hal-hal yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan sebagai akad Qiradh. Apabila syarat-syarat ini tidak terpenuhi salah satunya, maka tidak dapat dikatakan sebagai akad Qiradh. Adapun syarat-syarat Qiradh ada empat, yaitu :

a.       Akad Qiradh menggunakan bentuk uang ataupun harta lain yang dapat dijadikan modal dagang pada umumnya dengan besaran ukuran modal yang diketahui dan sepakati oleh pemilik dan pekerja.

b.      Pemilik harta (modal) dalam akad Qiradh memberikan izin pada pekerja untuk digunakan dalam perdagangan tanpa menuntut pekerja dengan ketentuan-ketentuan yang mempersempit dan mempersulit perdagangan.

c.       Pemilik harta (modal) menentukan bagian pasti bagi pekerja dari keuntungan yang dihasilkan dalam perdagangan sewaktu akad , misalnya seperdua atau sepertiga dari jumlah keuntungan.

d.      Akad Qiradh tidak dipastikan waktu berakhirnya akad. Walaupun begitu, pemilik modal ataupun pekerja memiliki wewenang yang sama untuk mengakhiri Qiradh terdapat sesuatu yang mencederai dasar Qiradh, yaitu kepercayaan (amanah[21]).

Sedangkan rukun Qiradh adalah adanya serah terima (ijab-qobul) dengan menggunakan kalimat ataupun tulisan yang dapat dipahami menunjukkan tentang Qiradh, seperti ucapan “ambillah harta ini dan pergunakanlah untuk pekerjaan[22]”.

Dari persyaratan dan rukun di atas, bisa dipahami bahwa Qiradh yang tidak memenuhi salah satu persyaratan ataupun rukun tersebut tidak bisa dikatakan Qiradh.

4.      Macam-Macam Qiradh

Qiradh ada dua macam, yaitu qiradh mutlak (al-mutlaq) dan qiradg terikat (almuqayyad).

a.       Qiradh mutlaq (mutlak) adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha tanpa memberikan batasan, seperti berkata “saya serahkan uang ini kepada mu untuk diusahakan, sedangkan labanya akan dibagi di antara kita, masing-masing setengah atau sepertiga, dan lain-lain”.

b.      Qiradh muqayyad (terikat) adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha dengan memberikan batasan. Seperti persayaratan bahwa pengusaha harus berdagang di daerah gunung tua atau harus berdagang sepatu, atau membeli barang dari orang tertentu, dan lain-lain.

Ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad memperbolehkan memberi batasan dengan waktu dan orang, tetapi ulama Syafi’iyah dan Malikiyah melarangnya. Ulama’ Hanafiyah dan Ahmad pun membolehkan akad apabila dikaitkan dengan masa yang akan datang, seperti, “Usahakan modal ini mulai bulan depan,” sedangkan ulama’ Syafi’iyah dan Malikiyah melarangnya.[23]

5.      Hukum dan Cara Pelaksanaan Qiradh

a.       Hukum

Dalam akad Qiradh terdapat kemaslahatan yang banyak bagi manusia, sehingga syari’at membenarkannya. Adapun hukum Qiradh ada dua, yaitu Sunnah dan Mubah. Kesunnahan Qiradh ini dilandasi dengan kaidah fiqh yang maksudnya yaitu menjaga pekerjaan yang didalamnya terdapat kemaslahatan dianjurkan oleh syari’at. Sedangkan kemubahan qiradh didasari kaidah yang mengatakan bahwa hukum asal mu’amalah adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil yang menjelaskan keharamannya.

b.      Cara Pelaksanaan

Karena orang yang bekerja wajib ikhlas dan atas dasar kepercayaan maka, pekerja dalam segala urusan yang bersangkutan dengan qiradh, hendaklah ia dibenarkan dengan semua sumpahnya apabila ia mengatakan tidak mendapat keuntungan atau hanya memperoleh sedikit keuntungan. Begitu juga banyak dan sedikitnya modal, atau dia mengatakan bahwa modalnya hilang, semua pengakuan tersebut hendaklah diperkuat dengan sumpahnya.

Sedangkan apabila orang yang bekerja dan yang punya modal berselisih tentang pembagian keuntungan, semisal, orang yang bekerja mengatakan untuk dia seperdua, sedangkan yang punya modal sepertiga, kedua-duanya hendaklah besumpah, dan orang yang bekerja di beri keuntungan menurut kebiasaan yang berlaku di tempat dan waktu itu.

Akad qiradh adalah akad saling percaya. Maka apabila ada barang yang hilang, yang bekerja tidak wajib mengganti, kecuali jika karena kelalaiannya. Kerugian hendaklah ditutupi (diganti) dengan keuntungan. Kalau masih juga rugi, kerugian itu hendaklah dipikul oleh pemilik modal, sedangkan pekerja tidak dituntut untuk mengganti kerugian.

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Pinjam-meminjam (‘Ariyah) adalah penyerahan kepemilikan hak guna suatu benda dalam jangka waktu tertentu atau hanya sebatas memberi izin untuk menggunakan barang, bukan memiliki hak guna barang. Sedangkan qiradh adalah kerjasama dalam perdagangan ataupun penjualan antara pemilik modal dan pekerjanya dengan kontrak perjanjian kerja dan bagian pasti bagi pekerja dari keuntungan yang dihasilkan.

2.       Pinjam-meminjam (‘Ariyah) dan qiradh sama-sama memiliki landasan hukum dari Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW.

3.      Akad pinjam-meminjam (‘ariyah) memiliki empat rukun, yaitu orang yang meminjam, orang yang meminjamkan, barang pinjaman dan serah terima. Sedangkan qiradh rukunya adalah adanya serah terima (ijab-qobul) dengan menggunakan kalimat ataupun tulisan yang dapat dipahami menunjukkan tentang qiradh dan syarat Qiradh ada empat, yaitu menggunakan bentuk uang ataupun harta lain, pemilik harta (modal) dalam akad qiradh memberikan izin pada pekerja untuk digunakan dalam perdagangan, pemilik harta (modal) menentukan bagian pasti bagi pekerja dari keuntungan, dan akad qiradh tidak dipastikan waktu berakhirnya akad.

4.      ‘Ariyah atau pinjam-meminjam hukumnya memiliki empat macam tergantung pada kondisi yang menyertainya, yaitu sunnah, wajib, haram dan makruh. Sedangkan qiradh hukumnya ada dua, yaitu Sunnah dan Mubah.

5.      Akad qiradh adalah akad saling percaya. Maka dalam pelaksanaanya, apabila ada barang yang hilang, yang bekerja tidak wajib mengganti, kecuali jika karena kelalaiannya. Kerugian hendaklah ditutupi (diganti) dengan keuntungan. Kalau masih juga rugi, kerugian itu hendaklah dipikul oleh pemilik modal, sedangkan pekerja tidak dituntut untuk mengganti kerugian.

B.     Saran

Demikian makalah ini ditulis, apabila ada kesalahan yang terdapat dalam makalah ini, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Yunus Mahmud. 2010. Kamus Arab Indonesia. Ciputat: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyyah.

Nawawi, Muhammad. 2002. Qut al Habibi al Ghoribi Tawsyeh ‘ala Ibn Qosim. Jakarta : Dar Al Kutub Al Islamiyah.

Wahab, Abdul, Muhammad. 2018. Fiqh Pinjam Meminjam. Jakarta Selatan: Rumah Fiqh Publishing.

Al Jazari, Rahma, Abdur. 2003. Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah. Libanon: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah. Juz 2.

Al Jazari, Rahma, Abdur. 2003. Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah. Libanon: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah. Juz 3.

Syamil Quran. 2013. Terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia. Surabaya: Halim.

Ali, bin, Ahmad. 2002. Bulughul Maram min Adillat al Ahkam. Jakarta: Dar Kutub Islamiyyah.

Bakar, Abi, Taqiyuddin. 2015. Kifayat Al Akhyar fi Halli Ghoyat al Ikhtishar. Kairo: Dar ibn Jawzi.

Afandi, Yazid, Muhammad. 2009. Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Logung Pustaka,.

Ferdy, Saputra dan Amar Maulana. 2014. Pemahaman Masyarakat Tentang Mudharabah (Qiradh),  Hiwalah, Dan Syirkah Dalam Islam. Jurnal Maqasidi Vol. 01.


[1] Muhammad Nawawi, “Qut al Habibi al Ghoribi Tawsyeh ‘ala Ibn Qosim”, (Jakarta : Dar Al Kutub Al Islamiyah, 2002), hal. 310.

[2] Muhammad Abdul Wahab, “Fiqh Pinjam Meminjam”, (Jakarta Selatan : Rumah Fiqh Publishing, 2018),  hal. 6.

[3] Abdur Rahma Al Jazari, “Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah” (Libanon : Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 2003) Juz 2, hal. 239.

[4] Syamil Quran, Al Quran Q.S. Al-Maidah/6:2

[5] Syamil Quran, Al Quran Q.S. Al-Ma’un/107:7

[6] Ahmad bin Ali, “Bulughul Maram min Adillat al Ahkam”, (Jakarta : Dar Kutub Islamiyyah, 2002), hal. 164.

[7] Ahmad bin Ali, “Bulughul Maram min Adillat al Ahkam”, . . . hal. 164

[8] Ahmad bin Ali, “Bulughul Maram min Adillat al Ahkam”, . . . hal. 164

[9] Abdur Rahma Al Jazari, “Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah” . . . Juz 3, hal. 240.

[10] Muhammad Nawawi, “Qut al Habibi al Ghoribi Tawsyeh ‘ala Ibn Qosim”, . . . hal. 310.

[11] Muhammad Nawawi, “Qut al Habibi al Ghoribi Tawsyeh ‘ala Ibn Qosim”, . . . hal. 311.

[12] Abdur Rahma Al Jazari, “Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah”, . . . hal. 241.

[13] Taqiyuddin Abi Bakar, “Kifayat Al Akhyar fi Halli Ghoyat al Ikhtishar”, (Kairo : Dar ibn Jawzi, 2015), hal.275.

[14] Abdur Rahma Al Jazari, “Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah” (Libanon : Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 2003) Juz 2, hal. 239.

[15] Muhammad Abdul Wahab, “Fiqh Pinjam Meminjam”, . . .  hal. 8.

[16] Muhammad Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta, Logung Pustaka, 2009), hal. 97.

[17] Muhammad Nawawi, “Qut al Habibi al Ghoribi Tawsyeh ‘ala Ibn Qosim”, . . . hal. 319.

[18] Abdur Rahma Al Jazari, “Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah” (Libanon : Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 2003) Juz 3, hal. 34.

[19] Syamil Quran, Al Quran Q.S. al Baqarah/2:198.

[20] Ahmad bin Ali, “Bulughul Maram min Adillat al Ahkam”, . . . hal. 167.

[21] Muhammad Nawawi, “Qut al Habibi al Ghoribi Tawsyeh ‘ala Ibn Qosim”, . . . hal. 321.

[22] Abdur Rahma Al Jazari, “Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah”, Juz 3, . . .  hal. 36.

[23] Ferdy Saputra, Amar Maulana,  Pemahaman Masyarakat Tentang Mudharabah (Qiradh),  Hiwalah, Dan Syirkah Dalam Islam”, Jurnal Maqasidi, Vol. 01.  No.1. 2014, hal. 65.